Tentukan Batasan Dalam Hubungan Anda
Fifi Official Writer
Saya kira tidak ada keahlian yang lebih penting untuk menjaga hubungan-hubungan kita tetap sehat selain menetapkan batasan-batasan di dalamnya. Anda dapat mempelajari kemampuan untuk menjalin komunikasi yang sehat, dan itu akan membantu. Anda dapat belajar bagaimana menangani konflik, dan itu akan menjadi nilai tambah yang penting. Anda dapat belajar untuk berdoa dan tertawa bersama, dan itu jelas akan menghasilkan dampak yang sangat kuat. Tapi, jika anda tidak tahu bagaimana menentukan dan memelihara batasan-batasan pribadi dan relasional anda, anda akan berada dalam masalah serius.
Ijinkan saya mengingatkan kembali beberapa fakta berikut ini:
- Tuhan adalah pencipta batasan-batasan, Dia menciptakan dunia dengan batasan-batasannya.
- Dia menetapkan batasan-batasan terhadap apa yang Dia berkati dan apa yang tidak Dia berkati.
- Dia menciptakan setiap kita unik, dengan potensi, bakat, kemampuan, dan kemungkinan yang berbeda-beda.
- Kita mempunyai latar belakang keluarga, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan preferensi yang berbeda.
- Merupakan tanggung jawab kita untuk menentukan nilai-nilai pribadi dan relasional kita, serta menerapkannya.
Fakta-fakta tersebut mungkin membuat kita bingung. Terlalu banyak orang berpikir bahwa mereka dapat mengatakan pada orang lain bagaimana mereka harus hidup, atau bagaimana mereka seharusnya secara otomatis menghormati preferensi mereka. Bagaimanapun juga, kita harus sangat berhati-hati dalam mengatakan pada orang lain apa yang seharusnya mereka pikirkan, rasakan, atau lakukan, begitupun sebaliknya, kita harus menjaga batasan-batasan kita sendiri dengan hati-hati sehingga orang lain tidak berasumsi bahwa mereka dapat mengendalikan kita dengan menentukan apa yang seharusnya kita pikirkan, rasakan, atau lakukan. Kita bertanggung jawab untuk menjadi transparan dengan orang lain, tentang apa saja yang kita tolerir dan apa saja yang tidak akan kita tolerir. Batasan-batasan ini mengkarifikasi harapan-harapan, bisa diibaratkan seperti peraturan dalam sebuah permainan. Batasan-batasan ini membantu menciptakan kepastian dan stabilitas dalam sebuah hubungan.
Sebagai seorang Clinical Psychologist, banyak masalah yang saya dengar berkaitan dengan masalah batasan-batasan, atau lebih spesifiknya, masalah kurangnya batasan-batasan. Berikut ini beberapa situasi yang pernah dialami beberapa klien saya:
Wanita yang pertama menulis: "Pacar saya sering bercerita tentang mantannya, padahal saya sudah mengatakan bahwa saya tidak mau mendengar tentang itu. Saya sudah mengatakan baik-baik kepadanya agar dia tidak terus membicarakan tentang mantannya, tapi dia tetap saja melakukannya. Bisakah anda memberitahu saya mengapa dia melakukannya?" Jawaban saya: "Saya tidak bisa memberitahukan alasannya..." Saya bisa saja menebak-nebak alasannya, tapi saya tidak mau berspekulasi dan saya pikir itu juga tidak akan membantu. Kita semua bisa membuat asumsi-asumsi tentang alasan pacarnya berbuat seperti itu, tapi kita akan terus menebak-nebak dan itu tidak akan menyelesaikan inti masalahnya. Apa yang wanita ini harus lakukan?
Jawab: "Katakanlah pada pacar anda bahwa inilah batasan anda, dia dapat menghormatinya atau keluar dari hubungan dengan anda. Sebenarnya, anda tidak perlu mengetahui apa motivasinya, dialah yang perlu mengetahui apa yang anda anggap serius dan bahwa anda tidak akan terus berkencan dengan pria yang sama sekali tidak sensitif. Pilihannya adalah dia harus belajar menghormati batasan-batasan anda dengan tidak membawa-bawa pihak ketiga dalam hubungan anda berdua, atau dengan sopan, anda dapat mengatakan selamat tinggal pada pria ini." Semua ini tentang batasan-batasan, apa yang akan anda tolerir dan apa yang tidak akan anda tolerir. Ini tentang bagaimana membiarkan orang lain tahu bahwa anda ingin diperlakukan dengan hormat, dan anda akan mengajar orang bagaimana untuk memperlakukan anda, dengan hormat. Saat kita berani menggunakan kata-kata, "Hentikan itu," atau "Aku tidak menerima cara itu," orang lain akan cenderung memperhatikannya. Saat kita berkata, "Silakan anda perlakukan orang lain dengan cara seperti itu, tapi tidak dengan saya," orang lain cenderung mendengarkan.
Wanita kedua menulis: "Saya takut berkomunikasi dengan suami saya. Dua tahun belakangan ini, kalau saya mencoba untuk berkomunikasi, dia bersikap kasar, berteriak, dan mengatakan bahwa dia tidak peduli dengan apa yang saya rasakan, dia juga bilang bahwa dia tidak mencintai saya. Dia telah mengabaikan saya dalam peristiwa-peristiwa penting seperti hari ulang tahun saya, hari valentine, dan lainnya. Dia berkata bahwa dia memang tidak terlalu mengistimewakan hari-hari seperti itu tapi dia membelikan hadiah ulang tahun untuk putra kami yang berusia 7 tahun. Dua hari lalu saya berulang tahun dan dia mengetahuinya, tapi dia bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Semua itu menyakitkan tapi saya tahu saya akan merasa lebih buruk lagi jika saya mengkonfrontasi dia dan saya takut berbicara padanya. Anda punya saran?"
Wanita ini hidup dalam situasi yang sangat sulit, kenyataan bahwa dia hidup dalam ketakutan merupakan tanda yang sangat jelas bahwa ini adalah jenis abusive relationship. Berurusan dengan orang seperti suaminya mirip dengan berurusan dengan anak-anak yang memanfaatkan senioritas mereka di sekolah untuk mengintimidasi dan mencari keuntungan materi dari anak-anak baru. Hidup dalam ketakutan secara otomatis memberi mereka lebih banyak kuasa atas diri kita. Satu-satunya cara untuk membuat mereka mengerti bahwa intimidasi mereka tidak lagi efektif adalah dengan menghadapi mereka, walaupun itu tidak mudah. Berikut ini beberapa prinsip untuk dipertimbangkan:
- Bersikap takut dan pasrah pada mereka hanya akan memberi mereka kuasa atas kita. Mereka belajar untuk bersikap kasar dan kuat karena mereka bisa. Dan cara itu berhasil untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Jika cara itu tidak berhasil, mereka tidak akan melakukannya lagi.
- Kita bisa mulai dengan cara yang sederhana. Saya tidak menyarankan anda membusungkan dada dan meremehkan suami anda. Saya tidak menyarankan anda untuk tidak menghormatinya. Saya menyarankan langkah yang sederhana, seperti memberitahu kepadanya tentang perasaan anda yang jujur.
- Pertimbangkan untuk melakukan konseling. Jika dia kelihatan tidak berminat untuk konseling bersama, mulailah dengan diri anda sendiri. Lakukan agar anda mendapat dukungan dan dorongan semangat. Pastikan anda belajar untuk menentukan batasan-batasan dalam hidup anda. Definisikan kembali apa yang penting bagi anda, apa yang anda rasakan, pikirkan, dan inginkan. Ingatlah apa yang telah Tuhan lakukan bagi anda dan apa yang akan Dia lakukan untuk anda saat ini.
- Ketahuilah bahwa anda tidak bisa mengubah orang lain, anda hanya bisa merubah diri anda sendiri. Mungkin saja dia akan terus menjadi seperti itu, tapi anda tidak harus terus bersembunyi di sudut ruangan. Jika dia memperlakukan anda dengan buruk, tinggalkan dia. Jika dia berteriak, katakan padanya untuk memperkecil suaranya jika dia ingin anda mendengarkannya. Oleh Tuhan kita telah dipercayakan sebagai pengurus dari diri kita sendiri, kita telah dibeli dengan harga yang sangat mahal, dan tentu saja kita akan merawat diri sendiri sebaik mungkin. Kita tidak dapat menolong orang lain, melayani orang lain, atau menggunakan karunia-karunia, potensi, dan harta kita jika kita terus mengabaikan kondisi emosional yang tidak semestinya itu.
- Pada akhirnya, ada waktunya kita perlu meninggalkan "ruang permainan" itu. Jika, setelah mengembangkan kemampuan asertif dan berusaha memperoleh kembali rasa hormat pada diri sendiri, suami anda terus saja bersikap kasar terhadap anda, pertimbangkan perpisahan sementara agar dia bisa merenungkan kembali tindakannya terhadap anda. Saat dia sadar bahwa dia tidak bisa terus menerus menyakiti anda dan melanggar batasan-batasan anda, serta memperlakukan anda dengan tidak hormat, mungkin saja dia akan menyadari kesalahan-kesalahannya dan mempertimbangkan kembali tindakannya.
Dalam kedua kasus di atas, wanita-wanita ini bersikap tolerir secara berlebihan. Mereka mengijinkan pria-pria dalam hidup mereka memperlakukan mereka dengan tidak hormat. Mereka memang bukan menjadi penyebab dari sikap tidak hormat itu, tapi mereka memungkinkan tindakan itu untuk terus berlanjut. Perubahan memang tidak pernah mudah, tapi sikap untuk menghormati dan menghargai diri sendiri, serta menentukan batasan-batasan yang jelas, akan memulai proses perubahan itu.
Sumber : cbn
Halaman :
1