Pengharapan Yang Jadi Musuh Keintiman (1)

Marriage / 17 December 2005

Kalangan Sendiri

Pengharapan Yang Jadi Musuh Keintiman (1)

Fifi Official Writer
4478
Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba menarik keluarga saya untuk bersatu, namun saya tidak pernah merasa sukses tentang hal ini. Saya menyadari sekarang bahwa saya mencoba terlalu keras.

Amanda, ibu tiga orang anak berusia 36 tahun, membagikan dalam pertemuan orang tua di gereja bahwa tantangan terbesarnya adalah hasrat untuk membuat semuanya menjadi sempurna. "Saya ingin banyak untuk keluarga saya. Saya ingin bisa berdoa bersama dalam keluarga, membaca bersama, membuat keputusan dan tentunya bergembira bersama-sama juga. Suami saya berkata bahwa saya mencoba hal ini terlalu keras. Dia mengatakan agar membiarkan semuanya tumbuh dengan sendirinya. Hentikan untuk membuat semuanya terjadi. Namun saya rasa jika saya tidak membuat itu berjalan sekarang, anak-anak akan tumbuh besar dan meninggalkan kami dan kami tidak akan punya hubungan seperti yang saya inginkan".

Yang lainnya dalam kelompok mengangguk setuju. Banyak mengakui perasaan yang sama. Paul, seorang ayah mengangkat tangannya dan melihat kiri kanan sebelum berbicara tentang anaknya yang berusia 12 tahun. "David bahkan tidak mencoba jadi gambaran yang pantas untuk seorang anak bagi saya. Dia anak kami satu-satunya. Saya ingin kami menjadi seperti teman yang melakukan olah raga dan berkemah bersama-sama. Namun dia justru jadi anak pendiam yang memendam semuanya didalam. Saya tidak tahu bagaimana membawa dia ‘keluar'. Saya telah mencoba semua yang saya pikir bisa dilakukan."

Saya dapat menghubungkan hal ini pada Amanda dan Paul. Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba menarik keluarga saya agar bersama-sama, namun saya tidak pernah merasa sukses tentang hal ini. Saya menyadari sekarang bahwa saya mencoba terlalu keras. Seperti Paul, saya punya gambaran dalam pikiran bagaimana kami seharusnya melihat dan mencoba memaksa hal itu jadi kenyataan. Saya ingin suami saya memimpin kami dalam doa dan anak-anak menolong dalam tugas-tugas dengan senang hati.

Saya ingin kita setuju tentang bagaimana mencari dan membelanjakan uang, liburan yang diambil dan bagaimana untuk mendekorasi rumah. Saya ingin kami menjadi sukarelawan di gereja sebagai keluarga. Dan lebih dari itu, saya ingin kami mengasihi dan ramah satu sama lain sepanjang waktu. Saya tidak dapat diisi dengan sekedar pertumbuhan. Saya ingin kesempurnaan. Tuhan bahkan tidak mendapat bagian untuk memilih dalam skenario itu!. Saya tahu apa yang saya inginkan dan saya berharap Dia juga setuju dengan saya.

Saat ini, bagaimanapun sebagai orang tua dari anak-anak yang bertumbuh, saya tahu bahwa keintiman bukanlah sesuatu yang bisa anda jadikan. Itu adalah hari demi hari pengalaman yang unik bagi setiap orang, setiap keluarga. Dan itu datang sepanjang waktu, kala manusia bersedia untuk terbuka dan membagikan hati mereka dengn orang lainnya. Beberapa momen keintiman mungkin diisi dengan kegembiraan. Yang lain karena teka-teki akibat konflik. Satu hari kita mungkin merasa hangat dan dekat. Hari berikutnya kita mungkin merasa seperti saling menyembunyikan diri. Namun keintiman yang benar mempunyai ruang dalam ekstrim yang seperti ini. Itu termasuk waktu-waktu dari suatu koneksi hubungan dan waktu-waktu terjadinya konfrontasi, waktu bersama dan waktu saat terpisah.

Itu tidak mudah dan sederhana. Namun itu adalah mungkin karena bersama Tuhan segala sesuatunya mungkin. Ketika kita membiarkan berjalan keluar dari agenda kita dan minta tuntunan Tuhan, kita selanjutnya akan bebas untuk melihat dan membebaskan pengharapan yang tidak realistik yang kita miliki, seperti halnya :

Pengharapan bahwa Keintiman sama dengan Kebersamaan

Menghabiskan waktu bersama bisa membantu keintiman, namun itu bukanlah semata ukuran keintiman. Anak saya bertumbuh dan mempunyai kehidupannya sendiri, bahkan saya merasa lebih intim dengan mereka sekarang daripada yang saya lakukan ketika kami masih tinggal bersama dalam satu rumah. Mereka punya kehidupan yang lengkap, seperti halnya saya. Bagaimana tidak hormatnya dan merusak bagi saya untuk menjatuhkan sudut pandang saya atas mereka. Saya belajar dengan pengalaman untuk berhubungan dengan mereka dengan jalan yang lebih sensitif dibanding dengan ketegasan, lebih spiritual dibanding menjaga, lebih mengasuh dibanding mengelola.

Saya juga merasa lebih nyaman dengan hidup saya. Mereka tidak perlu untuk melakukan perintah saya agar saya merasa baik tentang diri saya. Kami tidak perlu menghabiskan liburan kami bersama, atau berbicara di telepon setiap minggu. Itu sulit diterapkan pada awalnya, namun sekarang saya menyukainya. Itu mengangkat tekanan dari diri saya.

Saya mau pada akhirnya untuk membiarkan hubungan berjalan seperti itu. Sejumlah kunjungan, sejumlah hubungan telepon, sejumlah percakapan adalah benar-benar dekat. Yang lain tidak. Terkadang kami berhubungan pada tingkatan yang dalam dan amat spesial. Terkadang juga tidak seperti itu. Namun kini kami dapat menyadari waktu seperti itu dan mengatakan pada mereka. Saya juga punya lebih banyak ruang untuk mundur dan mengalir dalam hidup. Itu adalah kelegaan besar.

Pengharapan bahwa Keintiman Tidak Mengijinkan Kemarahan

Satu elemen penting dari hubungan yang intim adalah kemampuan untuk mengekspresikan rasa marah dengan jalan yang bertanggung jawab. Bahkan Yesus mengekspresikan kemarahan pada : "Setan, pada orang Farisi, pada para Saudagar di Bait Allah." Marah adalah bagian make up emosi kita. Kita tidak dapat menyangkal hal itu dan pergi dari situ. Orang di sekeliling kita merasakan hal itu bahkan ketika kita tidak mengekspresikannya.

Miriam ingat anak perempuannya yang berusia lima tahun menanyakan pertanyaan tajam : "Ma, apakah mama marah pada saya?". Miriam mengatakan bahwa dia menyangkal pertanyaan itu. Namun anak perempuannya ini tahu ada yang berbeda. Dia dapat merasa tekanan dalam suara ibunya dan melihat hal itu dalam sikapnya. Miriam mengatakan : "Saya bohong padanya", menyebut insiden beberapa tahun yang lalu. "Saya berkomitmen untuk mengajar dia tentang mengatakan hal yang sesungguhnya, sedang saya sendiri masih berbohong. Saya kira saya malu dengan kemarahan saya. Saya tidak ingin dia melihat sisi ini dari diri saya. Namun saya salah. Saya tidak dapat mengharap anak saya menjadi dekat pada saya jika saya tidak ingin membagikan diri saya yang sebenarnya padanya."

Dengan menyuarakan perasaan kita dan berbicara pada mereka bersama-sama, kita menunjukkan keluarga kita bahwa orang dapat menjadi marah namun masih mengasihi satu sama lain. Mereka dapat terluka namun tetap mempertahankan hubungan dan komitmen. Mereka dapat merasa terganggu dan menemukan jalan untuk bekerja melalui semuanya itu.

Bersambung bagian 2
Halaman :
1

Ikuti Kami