TV Musuh atau Sahabat Keluarga?
Fifi Official Writer
Pesawat televisi adalah sebuah benda mati. Sebagai seonggok peralatan elektronik hampir tidak punya pengaruh dan arti apa-apa. Namun benda ini kini menjadi sebuah perdebatan yang panjang dalam berbagai diskusi-diskusi, seminar, analisa, yang tidak pernah ada habisnya. Alat ini menjadi begitu populer karena kesanggupanya menerima siaran dari pemancar yang membawa informasi audio dan visual. Kedatangan alat ini disambut sebagai salah satu sarana hiburan, informasi, pendidikan, pembelajaran, kebebasan dll. Namun tidak sedikit yang mengecam sebagai musuh berbahaya yang memberikan pengaruh sangat buruk lewat tayangan yang ditampilkannya.
Bisa dibayangkan jika tidak ada pesawat televisi, maka siaran langsung olah raga, peristiwa-peristiwa penting tidak bisa dinikmati bersama-sama. Keunggulan siaran langsung inilah yang menyebabkan televisi begitu bermanfaat untuk menyebarkan informasi secara serentak ke seluruh penjuru dunia. Momen-momen emas seperti saat altet bulutangkis kita merebut emas olimpiade, pergantian tahun, pelantikan presiden bisa disaksikan oleh seluruh bangsa ini pada saat bersamaan. Siaran-siaran ini mampu menyatukan emosi bangsa ini untuk merasa senasib sepenanggungan, merasakan deburan jantung saat atlet kita berjuang meraih kemenangan. Kini kita juga terus menikmati siaran langsung peristiwa-peristiwa penting olah raga, politik, ekonomi, hingga acara hiburan, musik, pertunjukan tertentu, baik disiarkan secara langsung maupun berupa siaran tunda. Melihat kenyataan itu maka kita tentu tidak ragu menyatakan manfaat dari persahabatan dengan televisi ini.
Namun tidak bisa disangkal dampak lain yang muncul akibat tayangan televisi yang kini terus menonjolkan kekerasan, sexualitas, horor, maupun mistik. Parahnya tayangan untuk konsumsi anak berupa film kartun seringkali tidak lepas dari kekerasan, mistik dan seksualitas. Beragam acara kartun anak jelas-jelas menonjolkan kekerasan seperti perkelahian yang dibuat secara detil dan dalam waktu yang lama. Demikian juga bagian tubuh wanita yang sensual ditonjolkan secara berlebihan, diselingi makian-umpatan yang sama sekali tidak mendidik dan tidak patut ditiru anak-anak. Padahal orang tua biasanya selalu mengijinkan dan membebaskan anaknya melihat film kartun. Hasil survey Nielsen Media Riset 2004 menempatkan anak-anak di Indonesia sebagai penonton televisi terbanyak melebihi yang lain.
Anak-anak yang kurang mendapat didikan orang tua karena kesibukan kerja mencari uang. Mereka justru banyak menghabiskan waktunya di depan televisi. Sebuah survey di Amerika menunjukan anak-anak menghabiskan watunya rata-rata 4 jam sehari. Mereka sangat menikmati acara televisi. Akibatnya televisi memberikan pengaruh yang sangat besar bagi anak-anak, bahkan lebih besar dari di sekolah dan didikan orang tuanya.
RATINGHasrat mengejar Rating acapkali membuat para produser melupakan berbagai etika. Kekerasan, dan seksualitas yang dulu hanya menjadi bumbu cerita kini justru menjadi sarat utama sebuah garapan. Tidak heran kalau ada sinetron baru maka pertanyaan yang muncul adalah :
Gimana perkelahianya seru nggak?, banyak ceweknya nggak?, cantik-cantik nggak?. Sesuatu yang seharusnya menjadi bumbu kini menjadi hal utama dan harus ditonjolkan. Bisa dipahami karena kegagalan meraih rating bisa berarti bencana bagi sang produser maupn pengelola televisi.
Rating pemirsa televisi Indonesia yang disurvey oleh Nielsen Media Riset Indonesia menjadi alat ukur yang menentukan kesuksesan program acara yang dibuat. Rating diukur dari prosentase jumlah penonton acara tersebut dibagi jumlah penonton potensial, masih menjadi barometer utama kesuksesan acara.
Uniknya, sebenarnya rating ini sama sekali tidak ada hubungan dengan kualitas acara. Artinya tidak perduli betapa acara itu sejelek apapun asal para panel (sebutan untuk responden yang dipilih menjadi sample data riset, red.) banyak yang melihat maka dipastikan acara tersebut memiliki rating tinggi. Sebaliknya sebagus apapun kualitas acara yang dibuat jika tidak ada yang melihat maka dipastikan memiliki rating yang rendah. Maka dapat dipastikan rating yang ada saat ini benar-benar tidak ada hubungan dengan nilai-nilai yang dimuat dalam berbagai aspek perundangan maupun kode etik televisi itu sendiri, sebagaimana tulisan saudara Garin Nugroho dalam Kompas Edisi Rabu 9 Juni 2004 lalu.
Disinilah persoalannya. Jika diserahkan kepada rating saja maka pemirsa yang mengharapkan segi kualitas suatu acara mungkin saja tidak mendapat tempat. Sifat sebuah penyiaran televisi yang mampu menerobos hingga ruang sebuah keluarga, hingga kamar-kamar pribadi kita menjadikan kita sulit memilih acara yang tidak menonjolkan seksualitas dan kekerasan, meski kita mungkin tidak pernah menyukai acara-acara seperti itu. Hal ini tentu juga terjadi pada keluarga panel atau responden yang menjadi sample Nielsen media Riset untuk mendapatkan rating. Diperkirakan acara-acara yang menonjolkan kekerasan, seksualitas maupun mistis bisa bertahan pada jangka waktu yang lama selama rating mereka tinggi. Himbauan untuk hanya menonton suatu acara yang bagus saja memang efektif kalau dilakukan secara bersama, tetapi saat menonton sendirian mungkin pilihan cenderung kepada acara-acara yang berbau kekerasan, vulgar, mistik, dan menonjolkan seksualitas. Inilah faktanya.
Pada kondisi seperti ini diperlukan lembaga formal maupun non formal memberi masukan sisi kualitas sebuah program televisi agar bukan hanya kuantitas yang menjadi alat ukur. Kualitas garapan sebuah program seperti, keakuratan, nilai-nilai kemanusiaan, penyutradaraan, editing, dll sampai dampak yang timbul, pengaruh-pengaruh lain yang bisa merugikan penonton televisi dengan tetap berpijak pada Undang-Undang maupun kode etik nilai moral yang mulia harus diakomodasi. Sedangkan dari lembaga formal seperti KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia diharapkan mampu membuat aturan main yang jelas. Jelas dalam arti tidak menimbulkan kebingungan dalam menafsirkan serta tidak membelenggu kebebasan pers maupun kebebasan mendapatkan informasi tetapi mencegah pengaruh yang tidak baik bagi sebuah penayangan acara televisi.
Keputusan KPI mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran atau PPPSPS harus terus disosialisasikan. Masukan-masukan dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, munculnya pasal-pasal karet, membelenggu kebebasan dan kreativitas, serta tetap memperhatikan aturan dan UU lainya.
Sisi lain yang bisa diharapkan sebenarnya adalah munculnya kesadaran para pengelola TV untuk membentuk suatu gerakan kebersamaan untuk memikirkan kode etik dan aturan-aturan sendiri lainya dan dengan semangat kebersamaan mencegah tayangan tayangan tidak bermutu muncul dilayar televisi kita. Persoalan akan semakin rumit setelah beroperasinya puluhan TV lokal di daerah-daerah. Tanpa regulasi yang jelas TV-TV lokal akan bersaing secara tidak sehat. Akibatnya bisa saja penonton semakin dimanjakan, atau sebaliknya tayangan yang murahan dan tidak bermutu bisa menjamur dimana-mana. Jika itu terjadi maka televisi yang seharusnya kawan bisa menjadi musuh utama kita di ruang keluarga Indonesia.
Halaman :
1