Sumber Kesaksian: Tri Sulfianto & Daniel
Keluarga Tri Sulfianto mempunyai seorang putra bernama Daniel yang sempat mengalami sakit epilepsi selama 7 tahun.
Titin, ibu Daniel menyadari anaknya menderita epilepsi sejak bayi.
Anak saya mulai epilepsi sejak umur 6 bulan. Mulanya anak saya menderita sakit panas. Ketika saya baringkan dia untuk tidur, tiba-tiba anak saya ini mengalami kejang-kejang. Saya tidak tahu jika anak saya waktu itu mengalami step. Setelah serangan pertama itu selama 6 bulan Daniel terus menerus menderita sakit. Setiap hari ia bisa terjatuh. Kalau sedang duduk, dia bisa terjungkal, ketika jalan juga dia bisa terjungkal ke belakang.
Kalau dia minta sesuatu seperti mainan, jika hari ini tidak dibelikan maka dia akan mengalami kejang-kejang. Dia juga mengalami step terus menerus sampai dia berusia 7 tahun. Anak saya juga sering kolaps di sekolahan. Frekuensinya hampir sama seperti pada waktu ia ada di taman kanak-kanak. Waktu di taman kanak-kanak ia mengalami serangan epilepsi paling tidak sekitar tiga kali sebulan. Tapi waktu berada di kelas dua SD, hampir setiap hari anak saya mengalami step. Kalau ia mengalami step di sekolah maka gurunyalah yang selalu menangani.
Nurhayati, guru Daniel mengingat keadaan Daniel saat itu.
Waktu Daniel ada di taman kanak-kanak, saya ingat bahwa Daniel termasuk anak yang sering sakit-sakitan. Dia sering tidak masuk sekolah karena sakit. Pernah kejadian di sekolah saat Daniel memimpin baris berbaris, baru saja ia mengatakan "Siap Gerak" tiba-tiba saja dia mengalami kejang-kejang.
Segala macam cara dilakukan orangtua Daniel untuk menyembuhkannya.
Saya merasa putus asa dengan keadaan ini. Semua jalan saya coba untuk menyembuhkan anak saya. Jika saya mendengar dari teman, dari tetangga atau dari siapa saja tentang orang pintar yang mampu menyembuhkan anak saya, saya akan bawa Daniel kesana. Apapun sudah saya lakukan demi kesembuhan anak saya, tapi hasilnya sia-sia
Titin, ibu Daniel sudah lelah dengan upaya penyembuhan Daniel.
Semua usaha sudah saya lakukan baik mendatangi pengobatan alternatif maupun banyak dokter ahli, namun semuanya tidak membawa hasil. Bahkan dokter yang kami datangi saja sudah menyerah dan mengatakan bahwa kesembuhan ini tinggal menunggu mujizat saja. Saya sebagai seorang ibu merasa jiwa saya penat dan lelah. Saya sampai bilang pada Tuhan : "Tuhan kalau bisa saya yang menggantikan sakitnya Daniel ini, saya benar-benar lelah dan capek Tuhan". Saya penat melihat penderitaan anak saya ini.
Sesungguhnya pengharapan dalam Tuhan selalu ada.
Hingga satu ketika saya menyetel televisi. Di tayangan itu ada seorang bisu yang bisa disembuhkan. Dari tayangan itu timbul satu harapan, saya berpikir bahwa orang yang bisu saja dapat disembuhkan apalagi yang menderita epilepsi. Secara manusia saya melihat kasus yang saya tonton itu lebih berat dari kasus anak saya. Disitu saya punya harapan besar bahwa anak saya bisa mendapatkan mujizat juga. Di layar televisi ada nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi, lalu saya menghubungi nomor telepon itu. Setelah itu ada team yang datang dan mengajak kami berdoa. Saya diminta berdoa sambil berpegangan tangan dengan suami saya karena team yang datang itu mengatakan bahwa di dalam rumah tangga kami tidak ada kesatuan hati dalam doa. Sejak dikunjungi team Solusi, suami saya terbuka hatinya untuk berdoa bersama dengan saya.
Setelah kunjungan itu, Tri Sulfianto mengalami banyak perubahan.
Sebelum tidur malam saya mengajak anak dan istri saya untuk berdoa bersama. Saya mohon keluarga ini dipulihkan dan saya mohon anak saya Daniel disembuhkan.
Titin dan suaminya sepakat membawakan Daniel dalam doa-doa.
Setiap malam kami berdoa bersama suami saya sambil menumpangi tangan pada kepala anak saya. Itu yang dianjurkan oleh team doa yang datang kepada kami. Dari doa itu timbul iman saya sebab dari team Solusi sendiri menganjurkan untuk mengurangi obat-obat yang dikonsumsi anak saya. Jika sehari anak saya meminum obat 4 kali maka sejak hari itu konsumsinya saya kurangi. Memang sepertinya itulah jalan Tuhan, saya merasa : "Coba deh besok pagi Daniel jangan lagi diberi obat".
Mulai hari itu saya tidak lagi memberi obat pada anak saya. Memang saya seperti sport jantung dan berdebar-debar. Saya terus berdoa mengharap mujizat. Ternyata tidak ada apa-apa terhadap anak saya. Waktu itu antara bahagia dan deg-degan bercampur menjadi satu. Demikian juga dengan keesokan harinya, tidak juga ada apa-apa. Akhirnya saya konsultasi pada dokter, saya katakan bahwa anak saya sudah sembuh. Dokter yang ada menjadi bingung karena memang anak saya sudah lepas obat. Akhirnya saya mengambil keputusan bahwa anak saya ini sudah sembuh karena mujizat semata. Sejak anak saya mengalami mujizat itu, sekalipun ia tidak pernah kambuh dari penyakit epilepsinya. Itu yang membuat saya lega, beban yang selama ini saya pikul telah terlepas.
Pemulihan Daniel sangat pesat seperti diungkap Puji Astuti, gurunya.
Daniel sekarang adalah anak normal seperti anak-anak lainnya. Tidak ada keluhan soal pelajarannya, dia baik dan mampu mengikuti seperti teman-temannya yang lain. Malahan dilihat dari perkembangannya dibanding kelas dua SD dimana dia masih sering menangis dan prestasinya dibawah rata-rata. Sekarang ini nilai-nilai Daniel sudah diatas rata-rata dan ia sekarang mampu masuk sepuluh besar di kelas.
Beban harapan Titin untuk Daniel telah Tuhan angkat.
Bagi saya itu adalah hadiah dari surga yang luar biasa. Tadinya saya merasa sebagai orang yang paling menderita sedunia. Tapi setelah Daniel mendapat mujizat saya merasa sebagai orang yang paling berbahagia di dunia.
Tri Sulfianto berbahagia untuk pemulihan keluarganya.
Sekarang Daniel sudah disembuhkan. Tidak hanya itu, kami bersukacita karena keluarga kami juga sudah dipulihkan oleh Tuhan Yesus.
Ya Tuhan, karena inilah hatiku mengharapkan Engkau; tenangkanlah rohku, buatlah aku sehat, buatlah aku sembuh! Sesungguhnya, penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku; Engkaulah yang mencegah jiwaku dari lobang kebinasaan. Sebab Engkau telah melemparkan segala dosaku jauh dari hadapan-Mu.(Yesaya 38:16-17)