Krisis di Belakang Banjir

Nasional / 1 January 2005

Kalangan Sendiri

Krisis di Belakang Banjir

Puji Astuti Official Writer
6064
 JAWABAN.com - DAMPAK ekonomi akibat banjir kini mulai menggigit sendi-sendi Republik. Yang dihajar memang tiang-tiang penopang perekonomian bangsa. Akibatnya, negeri yang mestinya memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi agar lebih mampu menyerap tenaga kerja sekarang justru mengalami pukulan hebat.

Contohnya kerugian ekspor sepatu diperkirakan mencapai US$10 juta akibat bahan baku, peralatan kerja, mesin pabrik, jaringan listrik, armada angkutan, hingga sepatu yang siap diekspor semuanya rusak berat karena terbenam banjir.

Sebuah perhitungan cepat memperkirakan kerugian mencapai Rp1 triliun akibat barang terlambat, pabrik berhenti dan rusak, kelangkaan bahan baku, serta gagalnya semua transaksi.

Bahkan, pabrik yang tidak terserang banjir pun tidak dapat berproduksi karena banjir telah memutus akses menuju pabrik. Seandainya akses masih normal, sebagian besar buruh tidak dapat bekerja karena rumahnya terendam banjir.

Dapat dipastikan target ekspor 2007 tidak tercapai. Dapat dipastikan pula, negara harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar lagi untuk memperbaiki infrastruktur. Sebab infrastruktur yang sebelum banjir tergolong normal sekarang rusak, sedangkan yang rusak bertambah rusak, bahkan tidak berfungsi.

Banjir juga mestinya memaksa berbagai industri untuk melakukan relokasi pabrik, pindah ke wilayah bebas banjir. Tapi, masih adakah kawasan yang bebas banjir? Jika pun ada kawasan pabrik bebas banjir, hasil produksi tetap tidak dapat didistribusikan karena infrastruktur tenggelam oleh banjir.

Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memulihkan semua dampak ekonomi akibat banjir. Misalnya, mengambil terobosan baru di bidang keuangan sehingga berbagai pabrik yang hancur ditelan banjir mendapat skema baru di bidang permodalan. Bank pemerintah mestinya bisa mengambil peranan yang lebih besar sehingga ekonomi mikro ini bisa bergairah kembali.

Sebab, seperti diketahui, sebelum banjir datang, sektor riil sudah tersendat-sendat. Bank lebih memilih memarkir dananya ke Sertifikat Bank Indonesia daripada menyalurkannya untuk menggerakkan sektor riil. Akibat banjir, sektor riil yang mulai menggeliat terpukul kembali.

Dampak ekonomi akibat banjir tidak hanya menimpa pengusaha, tetapi juga menimpa rakyat. Banjir tentu saja telah menambah jumlah orang miskin di Indonesia. Yang sebelumnya memiliki rumah sekarang kehilangan rumah. Yang sebelumnya memiliki kulkas sekarang tinggal baju di badan. Sangat jelas, jumlah orang miskin di negeri telah bertambah banyak. Jumlahnya pasti telah melampaui versi Bank Dunia sebelum banjir, yaitu lebih 100 juta orang.

Bukan hanya orang miskin yang bertambah, melainkan juga jumlah pengangguran. Mereka adalah yang kehilangan pekerjaan karena pabriknya bangkrut akibat banjir.

Siapa pun tahu betapa mahal ongkos yang harus dibayar akibat banjir. Dari lurah hingga presiden, semuanya tahu betul betapa mahal biaya memperbaiki akibat banjir ketimbang biaya mencegah banjir. Tetapi, siapa peduli?

Banjir terjadi karena multifaktor. Namun, semuanya berpangkal pada ketidakpedulian. Yang satu tidak peduli tata ruang, yang lain tidak peduli pendangkalan sungai. Yang satu sebagai warga membuang sampah semaunya, yang lain sebagai pemerintah tidak peduli kotanya tidak memiliki tempat pembuangan sampah. Yang tumbuh adalah peduli diri sendiri, kepentingan sendiri.

Dari perspektif itu, bangsa ini sebenarnya tidak hanya mengalami krisis ekonomi, tetapi di belakang banjir bersemayam krisis yang lebih parah lagi, yaitu krisis mentalitas berbangsa dan bernegara.(nat) Sumber : indonesiamedia
Halaman :
1

Ikuti Kami