Kekerasan yang Harus Hilang dari Pendidikan
Puji Astuti Official Writer
JAWABAN.com - JAKARTA - Kekerasan di sekolah bagi sebagian besar orang dianggap sebagai masalah yang biasa dan tidak akan berakibat fatal. Namun, dalam kenyataannya, ada orang yang nekat bunuh diri akibat tindakan yang dinamakan
bullying ini. Katherine Jane (16) dari Pulau Lewis, Skotlandia, yang nekat bunuh diri dengan menenggak segenggam obat adalah orang yang menderita akibat bullying ini.
Tujuh minggu sebelum ia mengakhiri hidupnya, dia sempat diserang oleh beberapa temannya saat pulang sekolah. Bukan hanya itu, beberapa telepon gelap mengancam akan penggundulan rambutnya jika hasil ujiannya bagus, hal ini menjadikannya bertambah depresi.
Sayangnya, dia tidak melaporkan kejadian tersebut kepada kedua orang tuanya. Belakangan diketahui, salah seorang yang menyerangnya adalah Michelle-orang yang sudah dikenal Katherine sejak 8 tahun silam. Keduanya pernah berfoto bersama dengan Santa Klaus dan tampak riang bersama. Kenyataannya, Michelle sendiri akhirnya didakwa 3 bulan penjara karena ikut ambil bagian dalam penyerangan terhadap Katherine.
Kasus serupa bukan hanya terjadi di Skotlandia saja, tetapi juga terjadi di beberapa negara termasuk Indonesia. Kasus Fitang Budi Aditya (13) misalnya. Siswa SMPN 13 Babelan, Bekasi, ini babak belur dipukuli teman sekelasnya atas perintah salah seorang guru yang kesal karena Fitang sering datang terlambat.
Tanamkan KekerasanHasil survei yang dilakukan Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada guru-guru di 3 SMA yang ada di Jawa menunjukkan 18,3 persen guru menganggap "penggencetan" dan olok-olok adalah hal yang biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan kembali. Sebanyak 27,5 persen guru berpendapat, sesekali mengalami penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa.
Sementara itu, penelitian di beberapa SMA Jakarta menunjukkan 10 persen guru menganggap hukuman fisik merupakan cara menegur yang paling efektif. Dan, 36 persen siswa mengemukakan bahwa guru mereka membentak bahkan ada yang menonjok mereka agar siswa mengakui kesalahan.
Hasil serupa didapat pula dari hasil survei lain yang dilakukan oleh Rianto Adi, peneliti dari Universitas Atmajaya. Kesimpulannya menyebutkan, 80 persen guru di Jawa Tengah menghukum siswa dengan membentak di depan teman-temannya dan 50 persen menyuruh siswa berdiri di depan kelas.
Tindakan bernuansa kekerasan ini tak membuahkan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo menilai bullying merupakan kegagalan kita dalam membangun kecerdasan komprehensif, spiritual, sosial, intelektual, emosional dan konestetik. Menurutnya, ada kecenderungan yang terjadi di masyarakat Indonesia yang justru terlalu bias dalam mengartikan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
"Ketika kita hanya mengandalkan kecerdasan otak saja, kita hanya mendudukkan orang lain sebagai objek dan itu sama saja kita telah melakukan bullying. Hasilnya, kita memperoleh manusia yang intelektual, tetapi robotik," ujarnya, dalam sebuah seminar soal bullying pekan lalu.
Mendiknas menambahkan, perkelahian atau tawuran remaja terjadi ketika mereka sudah menjadikan kekerasan menjadi bagian hidup mereka.
Hal sama dikatakan Direktur Sekolah Madania Komaruddin Hidayat. Ia mengkhawatirkan pendiaman bullying akan menjadi masalah yang serius dalam pembentukkan budaya kita ke depan. Begitu halnya dengan psikolog Universitas Indonesia Ratna Juwita menilai bullying bukan saja menciptakan iklim sekolah yang tidak bersahabat, tetapi dapat menciptakan pribadi-pribadi yang rapuh, rendah diri, merasa tidak berharga bahkan ada yang nekat bunuh diri layaknya yang dilakukan Katherine.
Jika demikian halnya, sudah saatnya para pendidik mendidik dirinya sendiri untuk tidak menanam bibit- bibit kekerasan. Alih-alih menciptakan kedisiplinan bisa menimbulkan kekerasan, bahkan berakibat kematian. (nat) Sumber : stevani elisabeth - sinar-harapan.co.id
Halaman :
1