Kisah Nyata Christie: Perjalanan Ditinggal Suami, Kena Stroke, dan Jadi Penulis

Family / 21 May 2013

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Christie: Perjalanan Ditinggal Suami, Kena Stroke, dan Jadi Penulis

Yenny Kartika Official Writer
26488

Saya ingin menikah seperti ayah dan ibu saya. Saya melihat mereka bahagia dengan keluarga yang dimiliki, dan saya pun ingin seperti mereka. Oleh karena itu, saya menikah dengan calon suami saya.

3 tahun kemudian

Saat sedang asyik-asyiknya bekerja, salah satu rekan datang menghampiri. Dia bercerita kalau kemarin dia melihat suami saya sedang bersama seorang wanita di mall.

“Aku pikir wanita itu kamu, eh, ternyata bukan,” kata rekan saya.

Hmm. Selama tiga tahun pernikahan kami, sepertinya tiap tahun ada saja 1 wanita yang dekat dengan suami saya. Ya, itu memang sudah saya ketahui dan saya akui. Salah satu wanita itu adalah pembantu saya sendiri. Suami saya pernah mengajak pembantu saya untuk nikah! Hal itu saya dengar sendiri dari cerita si pembantu. Ada-ada saja!

Sebetulnya bukan hanya saya yang tahu akan hal itu. Supir dan anak-anak saya juga mengetahui adanya wanita-wanita lain yang mendampingi suami saya.

Ada satu orang wanita yang selalu menelepon saya. Saya anggap itu sebagai sebuah teror. Dia berkata, “Asal lo tahu, ya, Christie. Saya ini istrinya Robby.” Dan dia langsung memutus sambungan telepon.

Ya ampun!

Saya pun mengambil tindakan nekat. Saya telusuri kos-kosan tempat suami saya tinggal. Ternyata kos tersebut merupakan tempat tinggal yang sengaja ditempati oleh dia dan wanitanya. Mereka tinggal satu atap dan sudah menikah—dengan surat-surat palsu tentunya. Robby memalsukan identitasnya.

Saya marah. Hancur sudah kehidupan pernikahan saya.

Saya sedih, sakit hati, dan sering menangis. Suami sudah memilih berpaling kepada wanita lain. Bagaimana nasib anak-anak saya? Apa kata orang kalau mereka tahu kejadian ini? Bagaimana reaksi bapak dan ibu saya?

Sepuluh tahun lamanya saya bergumul dalam kesesakan. Saya tidak mampu berbicara, tidak punya teman, tidak ada tempat bercerita… Penghiburan saya hanyalah anak-anak.

Demi masa depan anak-anak, saya menenggelamkan diri dalam pekerjaan sebagai perancang properti. Saya akan mendapat bonus jika saya kerja lebih keras dibandingkan yang lain. Itulah yang saya kejar. Saya tidak tidur—kerja sampai pagi bersama anak buah saya. Dan itu justru membuat masalah saya terlupakan.

Lambat laun, kesehatan saya terganggu. Kepala saya sering cenat cenut. Setiap kali sakit menyerang, saya menenggak obat. Memang rasa sakit itu hilang, tetapi kebiasaan minum obat tersebut membuat sensor di kepala saya tidak berfungsi lagi.

Rasa sakit yang tak kunjung hilang tidak menghalangi saya untuk bekerja. Daripada waktu saya dipakai untuk pergi berobat ke dokter, lebih baik saya kerja.

Oke, akhirnya gedung rancangan saya selesai di tahun 2009. Saya merayakannya dengan pergi berlibur ke luar negeri bersama keluarga. Namun tanpa saya sadari, malapetaka sedang mengintai.

Ceritanya, saat itu kami sedang berada di San Francisco. Seperti biasa di pukul 3 pagi, saya terbangun karena hendak ke toilet. Ketika saya berdiri dari tempat tidur, kaki terasa lemas sekali dan langsung terjatuh.

Saya panggil ibu saya, meminta pertolongan. Dari gejala dan keadaan yang saya alami, ibu saya tersadar bahwa anaknya ini telah terkena stroke. Mengapa? Karena dalam silsilah keluarga kami ada banyak yang memiliki darah tinggi.

Saya dibawa ke rumah sakit, dan untungnya nyawa saya bisa diselamatkan. Namun dokter memvonis bahwa otak kiri saya cacat. Di dalam otak kiri saya ada pembuluh darah yang lebih lunak, sehingga kalau tekanan darah saya naik (hipertensi), pembuluh darah itu bisa pecah. Otak kiri yang terkena adalah nomor 3,5, dan 7. Secara berurutan, masing-masing fungsinya adalah kesetimbangan, sensorik, dan motorik.

Setelah saya menjalani terapi di Amerika Serikat selama 2 minggu, saya dan keluarga kembali ke Indonesia. Saya merasakan hidup ini semakin berat. Untuk jalan saja susah, karena harus minta bantuan. Saya bosan, tidak bisa melakukan apa-apa. Tidur pun tidak nyaman karena separuh tubuh tidak berfungsi.

Di saat-saat seperti itulah, orangtuaku senantiasa memberikan dukungan. “Mengapa kamu menyerah?” tanya ibu saya dengan lembut. “Kamu memang harus percaya sama Tuhan. Tuhan itu sayang sama kamu. Tuhan itu sangat peduli sama kamu, Christie. Dan Ia tidak pernah meninggalkan kamu. Ia selalu memberikan yang terbaik.”

Bagi saya, perkataan ibu menjadi kekuatan. “Tuhan aja tidak pernah menyerah, Christie,” kata Ibu. Saya menjadi yakin bahwa, meskipun sulit, Tuhan akan memberikan masa depan yang penuh harapan bagi saya. Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan bagi kita semua. Itu sangat saya yakini sampai sekarang.

Dengan semangat yang baru dan dukungan penuh dari keluarga, saya menjalani terapi. Saya mulai bangkit. Hasilnya sangat mengejutkan. Dalam waktu enam bulan, saya sudah bisa bekerja kembali.

Teman SMP saya, namanya Primus, adalah seorang wartawan Kompas. Dia mengajak saya untuk terjun di dunianya: menjadi penulis. “Daripada kamu bete dan bosen, mendingan nulis, yuk,” tawarnya kepada saya. Wow, ini adalah dunia yang baru bagi saya. Secara verbal mungkin saya sulit berkata-kata melalui mulut, tetapi dengan menulis saya lebih mampu menuangkan isi pikiran saya.

Menurut orang-orang, tulisan saya menjadi inspirasi, terlebih lagi melalui blog saya di dunia maya. Saya seakan menemukan arti hidup yang baru. Bahkan saya dianugerahi penghargaan dari blog tersebut.

Selain itu, saya yang tadinya sulit ngomong, kini menjadi presenter di seminar-seminar dan pembicara di acara Hari Stroke Sedunia di Departemen Kesehatan.

Tuhan sepertinya memberikan saya hidup yang satu tingkat lebih baik—bukan seperti yang dulu. Kini saya semakin dekat dengan Tuhan.

Melalui penyakit yang saya derita, saya ingin menginspirasi orang lain, bahwasanya Tuhan itu tidak pernah sekalipun merancangkan kecelakaan bagi hidup kita, melainkan masa depan yang penuh harapan.

 

Sumber Kesaksian:

Christie Damayanti

Sumber : V130513171843
Halaman :
1

Ikuti Kami