Kisah Nyata Wanita yang Depresi karena Kehilangan Anak

Family / 14 May 2013

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Wanita yang Depresi karena Kehilangan Anak

Yenny Kartika Official Writer
18202

Tidak ada satupun orangtua di dunia ini yang mengharapkan kejadian ini terjadi pada keluarga mereka. Sebuah tragedi tak disengaja, yang sungguh amat disesali. Apakah itu?

 

BAGIAN I

Maria: Lelah dengan kehidupan rumah tangga, aku ingin cerai

Perkenalkan, namaku adalah Maria. Aku memiliki suami bernama Ronald Hosen atau biasa disapa Roy. Saat kami menikah, usia kami masih muda. Kami dikaruniai 2 orang putra.

Roy memiliki karakter ramah dengan semua wanita. Pernah suatu kali, ada seorang wanita yang datang ke rumah. Roy tidak segan-segan memberi ciuman pipi kiri-kanan, di depan mataku. Kelakuannya itu membuatku cemburu. Dia tidak membuat perbedaan antara hubungannya dengan istri dan dengan wanita selain istrinya.

Itulah salah satu penyebab keributan demi keributan yang sering melanda rumah tangga kami. Semakin hari, makin panaslah keluarga ini. Saya menyesal menikah di usia muda, apalagi karena pilihan saya adalah pria yang seperti ini.

Saking lelah dan depresi, aku berkali-kali mengatakan, “Cerai!” kepada suami. Bahkan, dengan nekat aku pernah melakukan percobaan bunuh diri. Tapi niat itu tidak dapat terlaksana. Mengapa? Semata-mata karena aku ingat dengan kedua anakku yang masih kecil, Ruben dan Russell. Demi kedua buah hatiku, aku mencoba bertahan.

 

BAGIAN II

Maria: Suami tidak mengerti apa yang kurasakan

Sebuah peristiwa tak terduga mengguncang keluarga kami.

Hari itu, semua berjalan seperti biasa. Aku sedang berada di rumah, bersama pembantu yang mengurus Ruben dan Russell. Karena kesibukan yang aku dan pembantu lakukan, tanpa kami sadari, Russell lepas dari pengawasan.

Putra bungsuku itu, yang kebetulan sudah bisa berjalan, pergi menuju kamar mandi. Naluri seorang ibu menyeruak dalam batin. Entah kenapa aku merasakan ada firasat buruk. Eh, benar saja! Saat aku mendengar suara riak air, aku langsung menuju kamar mandi, dan kulihat tubuh Russell terjerembab masuk ke dalam ember berisi air.

Kepanikan melanda. Cepat-cepat aku mengambil handuk dan mengangkat Russell karena aku yakin dia masih bisa diselamatkan. Aku mengabarkan keadaan darurat pada suami dan memintanya untuk segera pulang.

Dengan tergopoh-gopoh aku membawa Russell ke bidan terdekat. Sesampainya di sana, harapan untuk mendengar kabar baik, pupus sudah. Bidan menyatakan bahwa nyawa Russell tidak tertolong.

Kesedihanku tidak terbendung. Rasanya seperti kehilangan sebuah nyawa yang sangat berharga. Saya marah sekali sama Tuhan, mengapa Dia harus mengambil anak saya dengan cara seperti itu. Tuhan enggak pernah mendukung saya. Tuhan enggak pernah ada di sisi saya.

“Mana anak saya?” tanya suami kepada saya begitu ia sampai di klinik bidan. Saya hanya bisa terdiam lemas, tidak tahu harus berkata apa. Segenap perasaaan berkecamuk dan tak bisa diungkapkan.

Setelah menyadari bahwa Russell meninggal dunia, Roy bukannya menghibur atau menguatkan. Dia malah berkata, “Kamu tuh udah gagal jaga anak! Kamu di rumah ngapain aja?!”

Saya sangat sedih. Saya tidak ingin ada siapapun di samping saya pada saat itu—saya hanya ingin menyendiri. Dan saya sangat ingin anak saya kembali. Justru pada saat mereka memarahi dan mencaci maki, mereka sama sekali tidak tahu apa yang saya alami. Mereka tidak mengerti bagaimana rasanya ada di posisi saya.

Sekarang dunia ini tidak pernah sama lagi. Saya harus melewati proses kehilangan Russell disertai dengan tekanan. Saya mengalami depresi. Saya menutup komunikasi dengan semua orang dan saya merasa trauma.

 

BAGIAN III

Ronald Hosen: Saya ingin istri saya pulih

Saya Ronald Hosen alias Roy. Sebagai suami dari Maria, saya baru menyadari betapa hancurnya hati istri saya akibat kehilangan Russell. Kalau sampai istri yang saya sayangi hilang juga, saya tidak mau. Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa dia. Oleh sebab itu, saya datang kepada Tuhan dan meminta ampun jika saya telah menyalahkan Dia selama ini.

Sejak saat itu saya mulai mencari Tuhan. Saya ingin keluarga saya dipulihkan, terutama istri. Saya tidak mau kehidupan saya begini terus.

Akhirnya saya mulai rajin datang ibadah dan mencari Tuhan.

 

BAGIAN IV

Maria: Ruben juga anakku

Terlalu larut dalam duka lara membuatku lupa dengan Ruben. Bukankah dia juga anakku? Bahkan, kini dia adalah anakku satu-satunya. Bukankah aku tak mau kalau dia hilang juga? Oleh karena itu aku sadar, bahwa aku harus merawat dan menjaga dia sebaik-baiknya. aku tidak ingin kejadian tragis Russell terulang lagi dalam hidupku.

Suami kini rajin mencari Tuhan. Dia mengajak saya pergi ke seminar tentang keluarga yang diadakan di gereja. Saya menurut saja.

Pada awal saya datang ke seminar itu, perasaan saya mulai terbuka—yang tadinya saya kecewa sekali sama Tuhan dan kecewa dengan kehidupan saya, perlahan mulai diubahkan. Apalagi pembicara seminar itu berkata, “Pemulihan hanya ada di dalam Yesus… Satu-satunya kunci untuk berubah adalah, terimalah Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat di dalam kehidupan Anda…”

Saat pembicara menantang untuk terima Yesus, saya langsung mengangkat tangan. Kemudian melalui seorang pembina, saya mendapatkan pesan bahwa saya harus merelakan dan melepaskan kepergian Russell. “Semua yang sudah hilang, tidak akan kembali,” begitu kata pembina saya. Berat rasanya mendengar kalimat demi kalimat yang dia ucapkan. Namun, apa yang dia katakan memang benar. Dia juga bilang bahwa saya harus memaafkan semua yang sudah terjadi, termasuk memaafkan suami atas perbuatannya kepada saya.

 

BAGIAN V

Ronald Hosen: Saya adalah tulang punggung

Dalam setiap sesi yang kami ikuti, pembicara selalu menggiring kami untuk kembali ke Tuhan. Kembali, dan kembali. Saya jadi ingat bahwasanya saya adalah tulang punggung, sehingga saya punya tugas untuk menguatkan keluarga saya.

Seminar yang kami ikuti benar-benar menjadi jawaban. Saya melihat istri saya mengalami perubahan sejak ia terima Yesus. Dia mulai mau berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dengan pembinanya. Wah, dari situ saya semakin yakin bahwa mengikut Tuhan itu tidak pernah sia-sia.

Tuhan Yesus memang dahsyat. Tahukah Saudara, Ia bukan hanya memulihkan istri saya, tetapi ia juga memberikan kami seorang anak perempuan! Luar biasa, Dia mengaruniakan seorang putri sebagai penyembuh luka kami.

Semenjak saya melibatkan Yesus dalam kehidupan keluarga saya, semuanya berubah. Sekarang saya dan istri sering tukar pikiran. Saya mendengarkan apa yang dikatakan istri, dan begitu pula sebaliknya. Maria lebih percaya kepada saya dibandingkan dengan sebelumnya. Pokoknya semuanya berbalik 180 derajat!

Rancangan Tuhan itu bukanlah rancangan kecelakaan, melainkan rancangan damai sejahtera. Dan itu berlaku untuk kita semua.

 

Sumber Kesaksian:

Maria dan Ronald Hosen (Roy)

Sumber : V130513185616
Halaman :
1

Ikuti Kami