Banyak yang mengatakan bahwa menjadi model adalah anugerah. Sudah cantik, glamor, memiliki penampilan rupawan dan tubuh memukau pula. Namun, apakah kisah hidup model yang satu ini seindah fisiknya?
Masa Silam
Ayah adalah figur bapak yang baik, bertanggung jawab, dan penuh kasih. Aku kehilangan ayah saat masih kecil, karena ia tewas terbunuh. Kejadiannya benar-benar tidak diduga. Setiap kali mengingat ayah, aku tak kuat menahan air mata. Aku selalu kangen dengannya.
Ibuku menikah lagi dengan duda beranak dua. Jika aku terus bertahan di rumah, pasti akan ada problem-problem yang menyebabkan kami saling menyakiti. Suatu kali aku mengatakan kepada Ibu bahwa aku ingin tinggal bersama pacarku. Ibuku tampak tak peduli. Dia mengiyakan saja saat aku berkata demikian.Terlihat sekali bahwa Ibu lebih menyayangi anak-anak tirinya dibandingkan aku.
Kasih sayang dan perhatian seorang ibu sungguh tak kurasakan.
Tuhan tidak adil. Hidup ini begitu pahit kurasakan. Buat apa hidup dengan keadaan seperti ini? Lebih baik aku mati.
Kabur
Ke Surabaya-lah aku melangkah, mengubur semua kenangan lama yang tertinggal di Makassar. Di Surabaya aku tinggal sendiri, tanpa pengawasan orangtua. Aku merasa ada sesuatu yang kosong dan harus diisi. Akupun mencarinya: mulai dari pergaulan kesana kemari, keluar malam, nongkrong, mabuk, dugem, pesta, pacaran, dan lain-lain. Aku merasa semakin bebas. Seks menjadi titik dimana aku selalu jatuh bangun.
Aku selalu berpikir bisa mendapatkan yang terbaik, meskipun tindakanku terlarang untuk usiaku.
Sebetulnya rasa bersalah dan berdosa itu sering datang. Ada penyesalan yang menghinggapi batinku. Tetapi, setiap kali aku ingat bahwa ibuku toh tidak peduli dengan keadaanku, maka penyesalan dan rasa bersalah itupun terkubur. Pada akhirnya aku menikmati saja semua yang kuperbuat.
Tuntutan Hidup
Dengan gaya hidup seperti ini, tentu aku memerlukan uang yang tidak sedikit. Untuk memenuhi kebutuhan, aku bekerja sebagai Account Executive. Tugasku adalah membantu mengurusi artis dan model.
Suatu kali sebuah tawaran datang tanpa disangka. Ada seorang temanku yang punya butik. Dia menawari aku untuk menjadi modelnya.
Wow, rasanya begitu nyaman menjalani profesi baru ini. Aku disuruh senyum, berpose, memperagakan berbagai gaya, dan lain-lain.
Semenjak fotoku dipasang di majalah, tawaran demi tawaran mulai berdatangan. Tapi itupun disertai dengan harga yang tidak sedikit. Ada yang berani membayarku sepuluh kali lipat, asalkan aku mau difoto dengan pose tanpa busana. Tapi aku tak mau menerima itu. Yang aku mau terima hanya sebatas sesi glamor. Sebetulnya sesi glamor juga sudah menunjukkan bagian-bagian tubuh tertentu yang asusila, meskipun bagiku masih belum menyalahi kode etik. Kuakui, pose-pose demikian memang tidak lazim dilakukan. Uang yang kudapatkan juga memang lebih besar.
Gaya hidupku semakin menjadi-jadi. Aku mulai mengenal narkoba, khususnya ecstasy. Sangat susah untuk bisa lepas dari barang tersebut. Seks bebas juga sudah menjadi bagian hidupku. Dengan pacarku, aku melakukan seks bebas dan merasa bahwa kami sehati serta memiliki satu dunia yang sama.
Tersadar
Aku menjadi berpikir, apakah hidup yang kujalani akan begini saja sampai seterusnya?
Kasih sayang seorang pria itu rupanya semu. Aku tahu, mereka menyukai aku hanya karena mengharapkan bisa tidur denganku. Komitmen pun tak bisa mereka jaga.
Untuk melupakan pikiran-pikiran yang menganggu tersebut, aku mabuk-mabukan. Saat aku mabuk, tubuhku rasanya menghilang, tak ada lagi yang kukhawatirkan. Tetapi saat mabuk itu sudah hilang, aku teringat kembali dengan berbagai masalah dan kepahitan. Itu semua menorehkan luka di hatiku.
Aku sebetulnya ingin lepas, namun tak berdaya. Aku baru tahu bahwa kalau kita sudah terikat dengan narkoba, dan kita berusaha untuk lepas darinya, maka badan akan menjadi sering drop. Rambutku menjadi rontok. Aku butuh topangan seseorang. Namun saat itu tak ada satupun yang peduli.
Di situlah aku merasakan takut mati.
Entah dari mana mulanya, muncul kilas-kilas balik (flashback) perjalanan hidupku dulu. Aku hanya melihat bahwa hidupku dipenuhi hal-hal yang tidak baik. Apakah sampai selamanya aku akan hidup seperti ini? Jika kelak aku mati, maka hanya hal-hal buruk saja yang kubawa, sementara tidak satupun hal yang baik? Aku harus lepas dari semua ini, tetapi, bagaimana caranya?
Dan terlintas di pikiranku untuk berdoa.
“Tuhan, aku ingin punya keluarga, yang tulus mengasihi aku tanpa melihat apa dan siapa. Sehingga aku bisa kuat melewati hidup ini dan kembali tegar. Dan aku juga bisa melanjutkan kehidupan dengan cara yang lebih baik lagi,” demikian aku memohon.
Benahi Hidup
Aku lelah. Tak lagi aku mau pacar-pacaran. Aku mau mulai menjalin hubungan dengan serius bersama orang yang tepat, karena aku mau menikah.
Singkat cerita, aku bertemu dengan seorang desainer. Yang aku lihat, dia adalah sosok yang dewasa. Dia mau menerima kekurangan saya, dan aku pun mau menerima kekurangan dia. Lalu kami memutuskan untuk tinggal serumah.
Lama-kelamaan aku mengenal tabiat asli pria ini. Rupanya dia itu seorang pengangguran. Dan ternyata dia adalah seorang duda yang ditinggalkan oleh istrinya. Saat aku hendak menagih janjinya—yang katanya mau menikahi aku—dia malah berkata, “Kamu itu banyak permintaanya, ya!”
Begitulah. Semuanya itu semu. Janji-janjinya hanya kamuflase belaka. Bahkan dia sering mengeluarkan kata-kata kasar.
Keadaan ini semakin membuatku tersiksa.
Semakin lelah diriku ini. Aku hanya berteriak kepada Tuhan, “Tuhan, aku capek. Kalau Tuhan mau ambil nyawaku, aku siap.” Bukankah Tuhan sudah mengetahui niat hatiku yang tulus untuk bertobat? Aku pikir aku bisa mempercayai pria itu, namun ternyata pilihanku masih salah.
Lanjutkan Hidup Ini
Aku tetap berusaha tegar melewati hidup hari demi hari.
Suatu hari saat aku selesai pemotretan, aku diajak oleh seorang kawan untuk hadir dalam pertemuan sebuah komunitas.
Komunitas itu membuatku merasa diterima. Orang-orang yang ada di dalamnya menerimaku tanpa melihat latar belakang hidupku yang kelam. Di situlah aku merasa “dirangkul”.
Bagiku, komunitas ini adalah jawaban doa dari Tuhan, ketika aku pernah meminta sebuah keluarga yang baru.
Aku bertemu dengan seorang pembimbing rohani yang berani blak-blakan menceritakan kisah hidupnya. Rupanya ceritanya mirip dengan apa yang kualami. Di situlah aku juga berani mengutarakan lika-liku kehidupanku yang bobrok. Aku tidak merasa malu, sebab keterbukaan adalah awal pemulihan.
Kehidupanku perlahan mulai berubah. Dari bimbingan rohani yang kudapatkan, aku mempelajari sebuah kebenaran: Apapun yang terjadi—entah baik maupun buruk—di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, jangan pernah berpikir bahwa itu adalah musibah. Sebaliknya, jalani dan ambil hikmahnya.
Meskipun kebenaran tersebut sangat membebaskanku sampai-sampai membuat aku tak kuasa menahan tangis, realita yang kuhadapi tak semudah itu. Aku masih belum bisa lepas dari pria yang tinggal serumah denganku itu. Aku diperhadapkan pada situasi yang begitu rumit: di satu sisi aku ingin bertobat, tapi di sisi lain aku tak mampu melepaskannya. Mengapa? Karena ada rasa gengsi, malu, dan lainnya.
Di tengah kekalutan yang membelenggu, sekonyong-konyong aku bisa mendengar suara Tuhan yang berbicara, “Kalau kamu sudah tidak kuat, lepas. Lepaskan.”
Sejak itu, aku memilih untuk lari meninggalkan pria ini.
Menyongsong Masa Depan
Aku semakin yakin dengan keputusanku untuk meninggalkan masa lalu dan melangkah menuju masa depan yang luar biasa. Dalam semua yang telah kualami, aku dapat mengambil kesimpulan: Seberat apapun kita disakiti, kita harus mengampuni dan berdoa untuk mereka yang telah menyakiti kita.
Aku sendiri sudah merasakan seperti apa mengampuni itu. Rasanya plong, enak, dan beban terasa diangkat.
Apapun yang sudah kualami, aku mau menerima itu sebagai sebuah proses. Proses yang dijalani tiap orang tidaklah sama. Tetapi, alangkah baiknya kalau kita dapat menyadari bahwa kita telah salah, dan kemudian kita langsung memiliki komitmen untuk mengubah diri kita ke arah yang lebih baik.
Saya juga mau katakan bahwa komunitas adalah suatu wadah yang penting, yang dapat membantu mengubah hidup kita menjadi lebih baik.
Kekosongan akan figur seorang ayah dan kasih sayang, rupanya hanya bisa diisi oleh Tuhan Yesus. Damai diperoleh saat kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Itu sudah pasti; aku sudah mengalaminya sendiri.
Sumber Kesaksian:
Catherine
Sumber : V120424141902