Suparno tinggal di kolong jembatan dengan kelima adiknya. Turun-temurun, menjadi pengemis adalah “bisnis” yang mereka jalankan. “Saya turun ke jalanan dari umur 5 tahun, saya sekolah dari kelas 1 SD dan sampai lulus kelas 6 SD. Saya dibiayai dari hasil bapak saya mengemis.” cerita Suparno akan masa kecilnya.
“Saya dari kelas 1 atau 2 SD bercita-cita menjadi polisi. Tapi bapak saya bilang, ‘Kita orang susah, janganlah neko-neko.’ Jadi kata-kata itu tertanam dalam diri saya. Cita-cita itu musnah dalam hidup saya, bahkan saya berpikir saya tidak layak hidup di dunia ini.”
Selain hidup di jalanan, Suparno juga tidak pernah mendapatkan kasih sayang orangtuanya. Dari kecil, ibunya selalu memukulnya. Kalau dia ke sekolah telat sedikit, dia akan disiram air. Kalau dia melakukan sesuatu kesalahan, tangannya akan ditang dan kukunya dicabut. Tentu hal tersebut membuat Suparno dendam terhadap kelakuan orangtuanya.
“Semenjak saya putus dari sekolah, saya melakukan pekerjaan mengemis dan orangtua saya sendiri mendorong saya melakukan pekerjaan seperti itu.” jelas Suparno. Tidak hanya itu, orangtuanya bahkan memberitahu caranya dan menyuruhnya memakai obat terlarang agar dia tidak merasa malu ketika menjalankan “usahanya”. Di tengah hal itu, sang ayah pun menyarankan agar Suparno membakar kakinya untuk membuat orang menjadi iba. Hasil mengemis yang besar saat orang melihat kakinya yang terbakar, membuat dia setiap dua bulan sekali membakar kakinya terus menerus.
Namun, ada satu orang yang dapat mengubah paradigma dan pandangan hidupnya. Setiap hari orang tersebut akan memulung bahkan tinggal di bawah kolong jembatan yang sama. “Sambil datang, dia menyadarkan saya. ‘No, kamu sadar ga sih, kamu ini orang sehat, kamu ini orang ga cacat. Kamu mau kerja seperti ini selamanya?’”
Akhirnya orang tersebut mengajaknya tinggal di rumah singgah. Suparno mencoba berubah dengan menarik gerobak. Dua hari pertama, terasa begitu berat, apalagi pikirannya mengatakan bahwa lebih enak mengemis karena tidak perlu susah payah dan hasilnya pun lebih besar.
Namun, orang tersebut tidak putus asa, dia datang lagi ke kolong jembatan dan mendatangi Parno. “Parno, kamu diciptakan bukan menjadi seorang pengemis, tapi menjadi orang yang sukses dalam Tuhan.” Suparno tidak mengerti sama sekali tentang arti kata Tuhan itu. Pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya tersebut, membuatnya kembali ke rumah singgah.
Dia belajar menjadi seorang pemulung yang gigih. Dia mulung setiap hari, dia ambil barang-barang bekas dan menjualnya. Suatu hari, dia dipercayakan untuk menjaga lapak dimana para pemulung menjual barang-barang mereka oleh Kak Mil, penyelamatnya itu.
Dari kepercayaan kecil itu, Suparno mengerjakannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Dia kemudian dipercayakan menjadi kepala lapak, sopir mobil, bahkan mengelola mobil angkutan kota yang menjadi miliknya sendiri. Mobil itu sendiri dibeli dengan kredit dimana Kak Mil membayar DP dan Suparno membayar cicilannya. Meskipun merasa ketar-ketir takut tak mampu membayar, Suparno bekerja dengan rajin.
Kini, tidak hanya dirinya yang terlepas dari minta-minta, adiknya pun mengikuti jejaknya. Dia memotivasi adiknya untuk terus belajar dan rencananya agar masuk ke angkatan darat. Semua itu karena ada satu orang yang menceritakan Tuhan Yesus kepadanya.
“Parno jangan pernah minder, Parno jangan pernah menyerah karena Tuhan Yesus selalu bersama dengan kamu, karena Tuhan Yesus selalu ada di dalam kamu, karena Tuhan Yesus selalu mengasihi kamu, jadi kamu jangan pernah menyerah dalam segala hal apapun. Kamu jangan pernah kalah dengan keadaan, di dalam Yesus itu ada kebahagiaan, karena di dalam Yesus itu ada kasih.” Kata Kak Milnya.
“Saya baru pertama kali merasakan kasih yang begitu luar biasa dalam hidup saya, yang selama ini belum pernah saya rasakan. Saya bersyukur sekali kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengubah hidup saya. Tuhan menjadikan saya punya pengharapan, yang tadinya saya tak punya harapan. Tuhan memberikan pengharapan itu kepada saya. Saya sangat bangga terhadap Dia, saya bersyukur sekali terhadap Dia, saya mau menyerahkan hidup saya terhadap Dia.”
Semua itu karena ada orang yang bersaksi pada satu orang ini dan percaya bahwa dia dapat maju. Kita perlu menjadi orang yang seperti itu, yang peduli kepada sekitar.
Sumber Kesaksian :
Suparno
Sumber : V130226104024