Erika Susanti lahir normal layaknya anak lainnya. Namun sebagai anak kecil, ia tak menyadari ketika keanehan serius sebenarnya sedang terjadi atas dirinya. Saat mendengarkan pelajaran di kelas, dengan serius ia mengikuti setiap gerak-gerik gurunya dan melihat dengan seksama bibir guru yang sedang mengajar. Gurunya yang tak menyadari keanehan yang dialaminya justru berbalik mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang membuat Erika ditertawakan teman-teman sekelasnya.
“Setiap hari saya dipermalukan oleh guru-guru yang seperti itu. Waktu itu umur saya sekitar 9-10 tahun. Telinga saya terus-menerus berdengung. Tapi karena saya mengalami hal ini setiap hari, saya menjadi tidak sadar kalau telinga saya berdengung. Saya tidak sadar kalau itu hal yang aneh. Saya pikir setiap anak mengalami hal yang saya alami. Setiap hari tiba-tiba banyak orang yang marah-marah sama saya. Setiap hari sepertinya tidak ada hari tanpa dimarahi,” ungkap Erika mengawali kesaksiannya.
Orangtua Erika pun akhirnya mengambil langkah pengobatan bag Erika. Semua dokter yang katanya bagus didatangi mereka demi kesembuhan Erika. Namun ternyata semua dokter angkat tangan. Kerusakan di saraf telinga Erika sudah sangat parah dan tidak dapat disembuhkan. Dokter memperkirakan kerusakan saraf di telinganya telah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya, namun tak ada yang tahu persis kapan kerusakan itu sebenarnya terjadi. Erika pun divonis menjadi tuna rungu untuk selamanya.
Erika menjadi kesulitan mengikuti pelajaran di sekolahnya. Rasa takut juga mulai dirasakannya terhadap para gurunya. Prestasi Erika dulu di atas rata-rata. Dan guru-gurunya yang dulu baik mulai banyak yang berubah dan sering memarahi dirinya. Meskipun telah diberitahu mengenai kondisi Erika yang sebenarnya, namun entah lupa atau memang tidak mau, beberapa gurunya lebih memilih untuk membacakan soal daripada menuliskan soal tersebut di papan tulis. Tentu saja hal ini menyulitkan Erika. Niat Erika untuk melihat soal kepada temannya justru dianggap sebagai niat mencontek. Diperlakukan seperti ini di sekolah membuat Erika merasa sangat sedih.
“Bukankah kata orang Tuhan itu baik? Tetapi kenapa saya dibuat cacat? Berarti Tuhan itu jahat, Tuhan itu tidak ada. Saya marah, marah sekali! Saya dulu tidak pernah menghina orang cacat, tapi kenapa saya dijadikan cacat? Saya marah! Saya berpikir mungkin lebih baik saya mati. Bahkan untuk berkomunikasi saja saya tidak bisa. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Kalau untuk hal dasar seperti komunikasi saja saya tidak bisa, hidup saya tidak berharga,” kisah Erika.
“Kata-kata orang yang suka bilang saya goblok, hal semudah ini saja tidak mengerti, membuat saya merasa bahwa saya ini goblok, saya tidak berharga dan saya tidak layak untuk hidup. Jadi untuk apa saya hidup?,” tambah Erika.
Kasih sayang orangtuanyalah yang membuat Erika tetap bertahan. Namun satu pesan dari mamanya melekat kuat di dalam hati Erika ketika Erika mencurahkan isi hatinya akan beratnya penghinaan demi penghinaan yang harus ia tanggung setiap hari. Kala itu mamanya berkata, “Mami kasihan sama kamu. Tapi mami sadar, begitu mami mati kamu harus hidup. Suka tidak suka, kamu harus melatih diri kamu untuk bisa tahan terhadap semua hal itu.” Pandangan itulah yang menguatkan orangtua Erika untuk terus memperlakukan Erika sebagai orang normal. Meskipun dididik dengan penuh kasih, Erika dituntut untuk menjadi pribadi yang kuat. Didikan ini pun sedikit demi sedikit mengubah paradigma Erika.
“Saya menyadari bahwa saya tidak pernah berjuang. Saya tidak pernah melakukan apa-apa. Saya pun mengambil keputusan untuk bangkit. Saya memilih untuk memulai dari awal. Karena saya masih belajar, saya memilih untuk menjadi sama dengan keluarga saya yang lain yang punya prestasi,” ungkap Erika mengenai awal perubahan hidupnya.
Erika mulai belajar untuk berkomunikasi melalui tulisan baik kepada teman, orangtua maupun keluarga. Setiap kali sebelum ulangan dimulai di sekolahnya, Erika memberanikan diri untuk berdiri dan mengatakan kepada gurunya bahwa ia tidak dapat mendengar dan meminta agar gurunya menuliskan soal di papan tulis. Perubahan sikap Erika berbuah manis. Ia berhasil meraih rangking satu di kelasnya.
“Sebelumnya saya adalah salah satu murid yang menempati posisi tiga terbawah. Dan di tahun itu juga saya langsung mendapatkan rangking satu. Nilai saya menonjol di Matematika, Fisika dan Kimia. Di akhir SMA, saya menjadi rangking 2 dari seluruh siswa di sekolah,” kisah Erika.
Prestasi telah Erika gapai namun ia masih merasa sendirian. “Saya merasa hampa sekali, Saya merasa apa yag saya miliki tidak ada gunanya. Saya tidak bahagia. Saya sadar saya dibenci banyak orang karena sifat saya egois,” ungkap Erika.
Namun Erika memiliki teman-teman yang begitu memperhatikannya. Oleh teman-temannya ini Erika diajari cara bergaul yang sopan dan beretika. Bergaul dengan orang lain bagi Erika memang tidaklah mudah. Namun persahabatan mereka sebagai orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan membuat Erika untuk pertama kalinya merasa percaya diri, bahwa bersahabat dengan orang lain adalah suatu hal yang mungkin. Erika diajari oleh para sahabatnya untuk memiliki karakter yang baik.
Hari demi hari persahabatan yang dijalaninya itu membawa perubahan besar bagi Erika. Selama lima tahun pertama menjalani masa-masa kuliahnya, para sahabatnyalah yang membantu Erika. Karena tinggal di kos-kosan yang sama, di malam hari terkadang mereka berdoa bersama.
“Tuhan mulai menjawab apa yan selama bertahun-tahun ini saya rindukan untuk dekat dengan Dia. Mungkin ketuna-runguan saya ini adalah jawaban Tuhan agar saya bisa dekat dengan Dia. Karena kalau saya tidak tuna rungu, mungkin saya tidak akan mengenal orang-orang yang akan mendekatkan saya dengan Tuhan,” kisah Erika.
Hidup Erika semakin lengkap setelah menikah dan memiliki dua orang putra kembar.
“Walaupun dia tuna rungu, namun Erika tidak memakai ketuna-runguannya itu sebagai alasan untuk diperlakukan khusus atau dia bersikap cengeng. Di kantor pun setahu saya, semua laporan keuangan yang diminta oleh bos, dilakukan olehnya dengan yang terbaik,” ujar Sugianto, suami Erika.
Tanggal 17 Maret 2012 Erika meluncurkan buku yang berjudul Be A Great Of You.
“Buku ini saya dedikasikan untuk orang normal maupun orang cacat, untuk semua orang yang merasa bahwa hidup mereka itu sudah pasti gagal karena mereka terbatas. Kalau kita tahu caranya dan mulai dengan cara yang benar, kita bisa mencapai puncak,” ujar Erika.
“Teladannya banyak yah, dari disiplin, semangat, saya lihat dia juga sebagai istri, sebagai seorang ibu, sebagai seorang pekerja, saya lihat bagaimana ia memiliki pengaturan prioritas waktu yang terbaik,” ujar Vivi, mentor Erika.
“Saya sangat bersyukur karena saya bertemu dengan Tuhan. Jika saya tidak bertemu dengan Tuhan, saya percaya saya tidak akan mencapai apa yang saya miliki saat ini. Dan waktu hati saya dipenuhi oleh Roh Tuhan, saya tahu saya aman. Itu sesuatu yang tidak bisa digambarkan. Sebagai seorang yang pernah melalui masa-masa yang penuh ketakutan, rasa aman itu luar biasa, merasa damai sejahtera, karena saya tahu saya tidak pernah sendirian. Karena saya tahu Tuhan itu sugguh-sungguh ada. Tahun-tahun ini saya sudah melihat penjagaan Tuhan bagi hidup saya. Saya menikmati hidup karena Tuhan itu baik,” ungkap Erika menutup kesaksiannya.
Sumber Kesaksian: Erika Susanti Sumber : V120502151950