Pada tahun 1921 ada sepasang suami isteri dari Swedia yang memiliki belas kasihan terhadap orang-orang di Afrika. Belas kasihan itu muncul karena perjumpaan mereka dengan pribadi yang penuh belas kasihan yaitu Yesus Kristus.
Semangat belas kasihan David dan Svea Flood mengalahkan banyaknya tantangan dan kesukaran yang mereka harus hadapi. Sampai satu kali mereka bertemu dengan seorang anak kecil dan dengan tekun Svea memperhatikan dan melayani anak kecil tersebut hingga si anak kecil tersebut menerima Yesus Kristus.
Namun tantangan dan kesukaran yang mereka harus hadapi semakin bertambah: selain penolakan dari kepala suku dan dukun yang ada, penyakit malaria pun terus menyerang mereka. David Flood merasa kedatangan mereka ke Afrika tidak ada gunanya karena mereka mengalami kegagalan, terlebih isterinya telah meninggal dunia setelah melahirkan bayi perempuan mereka.
Dalam keadan kecewa David Flood meninggalkan kuburan isterinya di Afrika dan menitipkan bayi perempuannya kepada misionaris Swedia yang lain. Tapi delapan bulan kemudian ayah dan ibu angkat Aggie pun meninggal dunia dan Aggie pun diserahkan kepada misionaris Amerika. Aggie si bayi perempuan Flood dibesarkan di Amerika.
Saat Aggie beranjak dewasa ia mendapat kiriman majalah Kristen dengan berbahasa Swedia di kotak suratnya. Saat ia melihat sebuah halaman di majalah tersebut ia terhenti kaget karena foto-foto yang ada di majalah tersebut. Ada sebuah kuburan primitif dengan salib putih dan di salib tertulis nama Svea Flood.
Aggie pun spontan beranjak ke mobilnya dan pergi menemui seseorang yang bisa menerjemahkan artikel berbahasa Swedia tersebut. Kemudian penerjemah itu mengatakan bahwa saat itu ada pasangan suami isteri misionaris yang datang ke Afrika yang memperkenalkan Yesus kepada seorang bocah laki-laki. Suami isteri ini dikaruniai seorang anak perempuan tapi ibunya meninggal dunia setelah beberapa hari. Namun melalui anak kecil yang pernah dibimbing Svea Flood, Allah telah menyelamatkan 600 orang Zaire. Ketika si bocah tersebut beranjak dewasa ia mendirikan sekolah di desanya tersebut dan oleh semangat belas kasihan Kristus yang ia peroleh dari Svea kini ia telah menjadi Pemimpin dari Gereja Pentakosta di Zaire dan memimpin 110.000 orang-orang Kristen di Zaire.
Karena semua hal itu Aggie jadi teringat dan terpikir untuk menemui ayahnya di Swedia dan beberapa tahun kemudian ia dan suaminya pergi mencari dan menemui ayahnya yang sudah berusia 73 tahun. Ia sangat terkejut dengan apa yang terjadi dengan ayahnya yang masih kepahitan dengan TUHAN dan terikat dengan minuman alkohol. Namun kedatangan Aggie membuat perubahan bagi ayahnya, setelah mendengarkan semua cerita Aggie ayahnya menangis dan kembali menaikkan doa pertobatannya karena selama ini ia membenci TUHAN
Mungkin awalnya di mata David Flood, ia dan istrinya telah gagal sebagai seorang misionaris. Namun jerih payah di dalam Tuhan tidak pernah sia-sia. Terbukti bahwa belas kasihan dan kepedulian yang disertai pemberitaan Injil terhadap satu orang melahirkan 600 orang yang bertobat dan dimuridkan. Sudahkah kita hari ini menjadi saluran belas kasihan Tuhan bagi sesama?
Baca juga:
Menjaga Persahabatan untuk Melawan Waktu
Sate Puting Susu, Makanan Khas Berbuka Puasa di Bali
Konser Next Level : 3 Band, 3 Benua, 1 Panggung
Sumber : truthspeaker.wordpress.com; The Special One / JP.Simamora