Rasul Paulus dalam surat kepada jemaat Filipi bersaksi bahwa dirinya telah “kehilangan semuanya”, namun ia memperoleh kemenangan yang besar karena hatinya tidak diarahkan kepada sesuatu pun yang sudah hilang itu. Bahkan dengan bahasa yang eksplisit, ia pun menyarankan kepada jemaat Kolose untuk memikirkan perkara yang di atas, bukan di bumi.
Bagaimana reaksi kita tatkala kita kehilangan sesuatu yang ada di bumi? Ketika harta milik atau kedudukan diambil dari kita, apakah kita merasa seperti ada di ujung dunia? Apakah kita menderita depresi yang berat dan marah? Kalau memang begitu berarti hal terlalu memonopoli hati kita.
Allah tidak pernah bermaksud agar harapan-harapan kita bisa dipenuhi di dalam manusia lain – pasangan hidup, anak, teman, karir, atau kesuksesan dalam bidang lain. Pengharapan dan sukacita kita haruslah berpusat di dalam Dia ([kitab]mazmu62:5[/kitab], [kitab]yerem15:16[/kitab]).
Sikap kita terhadap harta di bumi ini haruslah –“Semua itu hanya dipinjamkan kepada saya.” Ketika dalam satu hari Ayub dilucuti dari semua yang dimilikinya, ia menyembah, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil” ([kitab]0ayub1:21-22[/kitab]). Reaksi Ayub terhadap kehilangan yang ia alami di bumi ini membuktikan bahwa hatinya diarahkan kepada Allah, bukan kepada berkat-berkat.
Abraham juga menunjukkan sikap yang sama seperti Ayub. Saat Allah menyuruhnya untuk mengorbankan Ishak, Abraham dengan tanpa ragu menyerahkan anaknya saat Allah memintanya. Abraham menyerahkan Ishak di dalam iman dan dengan sikap menyembah; tidak ada kemarahan atau kepahitan di dalam hati Abraham ketika Allah berkata, “Serahkan dia kembali kepada-Ku.”
Tatkala Allah menutup sebuah pintu atau menghalangi jalan kita (pernikahan, karir, atau suatu prestasi), kita harus bersyukur dengan setulus hati kepadanya. Sebab, Allah memiliki rencana yang jauh lebih baik di benak-Nya. Dia pun bahkan dapat menyelamatkan kita dari situasi-situasi yang akan kita sesali di kemudian hari.
Cobalah bayangkan semua kemarahan yang harus Allah tanggung dari anak-anak-Nya, ketika dalam hikmat-Nya, Dia menyelamatkan mereka dari kemalangan yang tidak terkatakan. Hampir setiap pintu yang Allah tutup bagi kita hanyalah pintu penjara. Namun, di sisi manusia, kita berdiri di muka pintu itu dengan menangis dan berdoa supaya bisa masuk ke dalamnya. Ketika kita sudah masuk ke dalamnya kita justru berusaha sekeras-kerasnya untuk bisa keluar lagi!
Bapa paling tahu apa yang terbaik dan yang akan sungguh-sungguh membuat kita bahagia pada akhirnya. Oleh sebab itu, marilah kita mempercayai-Nya.
Sumber: Kekristenan sejati – Paul G. Caram / bm
Baca juga:
Kisah Nyata Arwin yang Kehilangan Mata Karena Direnggut Penyakit Mematikan
Cara Mudah Melekatkan Hubungan Dengan Anak