Akhirnya, saya harus menghadapi kenyataan bahwa segala sesuatu tidak lagi mengenai saya. Ada bayi yang harus saya pikirkan. kekuatiran dan pertanyaan terlintas di benak saya jika saya memutuskan untuk menikah setelah sang bayi lahir: Apakah saya lebih suka untuk menikah dalam kondisi hamil atau dengan bentuk tubuh melar setelah melahirkan? Siapa yang akan menjaga sang bayi selama upacara pernikahan berlangsung? Apakah saya menginginkan pertanyaan dari suster di rumah sakit mengenai nama belakang siapa yang akan diberikan pada anak saya kelak? Apakah saya dapat menyusui sambil mengenakan gaun pengantin?
Ada pertimbagan praktis lainnya yang saya pikirkan – seperti fakta bahwa perkiraan kelahiran saya bertepatan dengan minggu kelulusan saya, dan Ben masih menyisakan satu semester lagi untuk menyelesaikan kuliahnya, dan kami harus pindah rumah, mencari pekerjaan dan juga apartemen.
Sejak kencan pertama kami, saya tahu bahwa dia akan menjadi suamiku suatu hari nanti, seorang pria pemalu dengan sweter bergaris-garis di stan restoran. Kami telah membahas rencana pernikahan sebelum saya tahu saya telah hamil. Dan sebagian dari diriku ingin melakukan pembelaan untuk membela semua ibu muda di luar sana yang mengalami hal yang sama seperti saya, menghadapi penghakiman dan permusuhan akibat kehamilan yang tidak direncanakan. Saya ingin menunjukkan bahwa saya tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan – saya memang hamil, menikah dan tetap bahagia saat mengenakan gaun pengantin. Jadi, saya pun melakukannya.
Di usia kehamilan 5 bulan, setelah merencanakan segala sesuatunya selama dua bulan, saya berjalan menyusuri lorong gereja. Empat ratus tamu menjulurkan kepala mereka untuk melihat saya, bukan hanya untuk melihat wajah pengantin yang merona merah atau menatap gaun yang indah, tapi untuk melihat apakah perut saya sudah terlihat buncit. Dalam sebagian besar hari-hari yang saya jalani, saya yakin telah membuat keputusan yang tepat untuk menikah sebelum saya melahirkan. Namun ada kalanya di hari lain, seperti ketika saya melihat pengantin yang mengenakan bajunya dengan sangat anggun, saya ragu.
Saya membandingkan cahaya pesona pengantin yang tidak hamil dengan pengalaman saya sendiri, dan bertanya-tanya apa saja yang mungkin terjadi jika saja saya tidak hamil. Saya tidak pernah berpikir bahwa pernikahan saya terjadi seperti ini. saya tidak pernah membayangkan akan muntah di parkiran akibat morning sickness tepat sebelum belanja gaun pengantin. Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan memamerkan hasil gambar USG bayi saya saat makan di malam gladi resik atau saya tidak akan dapat melalui pesta lajang. Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan menelepon penjahit saya sambil menangis histeris, saat gaun pengantin yang sudah dirombak dua kali, robek di kedua sisinya tepat sebelum berangkat ke upacara pernikahan.
Saya ingin memberikan akhir yang rapi dan bersih di sini, tetapi kenyataannya adalah saya masih tidak yakin telah melakukan hal yang benar. Menikah dalam kondisi hamil sangatlah berat untuk dihadapi. Penuh dengan tekanan baik dari kedua sisi keluarga, semuanya dilakukan dengan terburu-buru, saya lelah, dan rasanya terlalu banyak kepura-puraan bahwa semuanya ‘normal’. Saya mendapati diriku ingin berdiri ditengah-tengah upacara dan berteriak, “Saya hamil! Semua orang tahu itu, jadi dapatkan kita berhenti berpura-pura bahwa saya tidak hamil?”. Saya terdiam dalam seremoni ketika mereka bertanya apakah kami akan menerima kehadiran anak-anak dalam perkawinan – apa yang mereka harapkan dari saya dalam menjawab pertanyaan itu?
Apa yang Anda pelajari dari kisah di atas? Memang tidak semua pernikahan dapat bertahan meskipun tanpa embel-embel hamil sebelum nikah. Namun pernikahan jauh lebih bermakna dari sekedar selembar kertas. Ini adalah komitmen yang sebenarnya. Siapapun bisa menandatangani selembar kertas. Namun hal itu tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan komitmen dan upaya keras untuk mempertahankannya.
Menjadi orangtua adalah komitmen yang sesungguhnya. Milikilah komitmen pada anak-anak Anda bahkan sebelum mereka lahir. Ciptakan keluarga yang bahagia, aman dan penuh kasih. Terus perjuangkan komitmen itu terutama setelah anak-anak lahir.
Banyak pasangan yang menikah karena hamil atau setelah melahirkan. Dan sangat sedih untuk mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka berakhir dengan perceraian. Perceraian merupakan hal yang sangat berat untuk dihadapi orang dewasa, apalagi bagi anak-anak. Perceraian akan mempengaruhi anak-anak selama sisa hidup mereka.
Jadilah seorang yang pro pernikahan dan pro keluarga. Satu saat ketika Anda diperhadapkan pada pilihan untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah atau melakukam hubungan seks dengan seseorang yang Anda pun tidak ingin anak-anak Anda melakukan hal itu dalam hidup mereka kelak, putuskan untuk berhenti saat itu juga dan pikirkan hidup Anda. Keputusan Anda tidak hanya berpengaruh pada hidup Anda selamanya tapi juga mempengaruhi kehidupan anak-anak Anda nantinya. Ini bukan hanya bicara tentang moral tapi juga memberikan masa depan dengan awal yang terbaik bagi hidup anak-anak Anda.
Baca Juga Artikel Lainnya: