Lapangan kerja di masa kini telah menuntut masyarakat untuk terus berkompetisi dengan jaman. Pergeseran waktu cenderung menghadirkan aturan kompetitif yang berubah ekstrim: dari titik kiri ke titik kanan.
Pengusaha dituntut untuk mengelola resiko, bukan menghindarinya. Perusahaan dituntut untuk berorientasi kepada konsumen, bukan produk. Individu manusia perlu mengasah SQ (Spiritual Quotient), bukan hanya IQ (Intelligent Quotient) dan EQ (Emotional Quotient).
Sebuah organisasi yang baik memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Manusia lebih kompleks daripada mesin, karena ia merupakan perpaduan dari daya pikir dan daya fisik. Perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya. Ia mampu membuat pilihan berdasarkan pertimbangan dan perasaan. Sementara prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya. SDM merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut eksistensi organisasi.
Seorang pekerja yang baik tidak bisa hanya mengandalkan ilmu teori yang didapat di bangku kuliah. Seorang programmer tak cukup hanya mengetahui ilmu Bahasa Pemrograman, Algoritma, dan Rekayasa Perangkat Lunak, karena sesungguhnya itu hanya berkaitan dengan hard skill. Masa depan ditentukan oleh elemen lainnya yakni soft skill seperti: karakter, visi, integritas, komitmen, etos kerja, dan sebagainya.
Solusi untuk pengembangan sektor soft skill salah satunya adalah melalui pelatihan atau training. Di tahun 2011, perusahaan-perusahaan di Amerika yang memiliki lebih dari 100 pekerja umumnya mengeluarkan biaya sebesar 60 juta dolar (sekitar Rp 580 milyar) untuk training, demikian dilaporkan majalah “Training”. Untuk menyiapkan anggaran training, setiap organisasi mau tak mau harus bisa menilai dan memprediksi keterampilan apa yang dibutuhkan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dengan demikian organisasi dapat merencanakan alokasi sumber daya dan memantau efektivitas.
Berapa besar budget yang sebaiknya dipersiapkan sebuah organisasi untuk training? Sesungguhnya tidak ada aturan main yang berlaku tentang seberapa besar anggaran yang sebaiknya dialokasikan. “American Society of Training and Development” (ASTD) pada tahun 2002 telah melakukan survei terhadap 375 perusahaan ternama. Dilaporkan bahwa untuk training, perusahaan umumnya mengeluarkan 1 sampai 3 persen dari total biaya gaji. Sedangkan setiap individu rata-rata menghabiskan lebih dari 700 dolar (sekitar Rp 6,7 juta) per tahun untuk ongkos training.
Sementara itu, perusahaan terdepan yang sudah maju biasanya memiliki anggaran dua kali lipat, yakni lebih dari 1.400 dolar per karyawan per tahun. Perusahaan mengambil sekitar 5 sampai 20 persen dari laba total perusahaan.
Berdasarkan laporan “Society for Human Resource Management”, anggaran training sebaiknya mencakup hal-hal berikut ini:
-upah untuk pengajar training (trainer),
-biaya seminar dan konferensi,
-perangkat keras seperti: perangkat audiovisual, komputer, mesin fotokopi, dll,
-materi softcopy, seperti presentasi Powerpoint atau video dalam format e-learning,
-fasilitas, seperti biaya sewa ruangan atau gedung, dan
-biaya untuk konsultan yang didatangkan dari luar.
Hal terpenting selain budget adalah membuat rancangan training yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan. Penelitian yang dilakukan ASTD dan “Knowledge Asset Management” menunjukkan bahwa ada kaitan yang jelas antara pembiayaan training dengan performa finansial perusahaan. Perusahaan yang menginvestasikan dana di atas rata-rata untuk training, memperoleh laba sebesar 137 persen dalam 5 tahun. Sementara perusahaan yang mengalokasikan dana training sejumlah rata-rata atau di bawah rata-rata, hanya memperoleh laba 55%.
Baca juga artikel lainnya:
Lindungi Investasi dari Ancaman Bencana
Karena Pendek dan Gendut, Igor Saykoji Dulu Sempat Minder
Selektif Pilih Tayangan TV Hindarkan Anak dari Perilaku Agresif