Sebuah ikatan suci yang sering kita bayangkan penuh dengan kebahagiaan, tawa, dan kemesraan layaknya dalam film. Kita melangkah ke pelaminan dengan hati dipenuhi cinta dan harapan indah tentang kehidupan berdua. Namun, perlahan-lahan, kenyataan hidup seringkali tidak seindah bayangan. Tiba-tiba, yang tersisa terasa seperti rutinitas, keheningan yang menjemukan, atau bahkan percikan-percikan konflik yang mulai mengikis kehangatan. Jika Anda pernah merasakan "kekeringan" dalam hubungan pernikahan, Anda tidak sendirian. Banyak pasangan mengalami fase di mana cinta terasa berjarak. Menurut Romo Eko Wahyu, OSC, inilah 6 akar permasalahan yang sering mengancam keharmonisan rumah tangga yang dapat membantu kita mengenali dan mengatasinya dengan bijaksana.
1. Ekspektasi Terlalu Tinggi & Persiapan yang Rendah
Kita sering membangun gambaran ideal tentang pasangan dan kehidupan pernikahan, mirip seperti "iklan" saat masa pacaran. Sayangnya, kenyataan tidak selalu sesuai bayangan. Konflik muncul ketika kita tidak siap menerima kenyataan bahwa pasangan kita adalah manusia biasa yang tidak sempurna. Persiapan pernikahan yang matang, termasuk diskusi tentang nilai-nilai, keuangan, dan tujuan hidup, sangat penting untuk menyeimbangkan ekspektasi ini.
2. Mudah Menyalahkan Pasangan
Dalam konflik, naluri kita seringkali lebih mudah melihat kelemahan dan kesalahan pasangan daripada melakukan introspeksi diri. Pola pikir seperti, "Saya tidak bahagia karena pasangan saya..." adalah pola umum yang merusak. Sikap ini menciptakan siklus menyalahkan yang tidak ada habisnya, alih-alih mencari solusi bersama. Mengakui kesalahan sendiri adalah langkah pertama yang penting.
3. Harapan yang Tidak Terpenuhi
Banyak janji dan harapan indah yang terbentuk saat pacaran. Ketika harapan-harapan ini tidak terwujud setelah menikah, kekecewaan pun menggerogoti hubungan. Komunikasi terbuka tentang harapan masing-masing dan kesediaan untuk bertekad kembali sangat diperlukan untuk mengatasi jurang antara harapan dan kenyataan.
4. Perasaan Negatif yang Tidak Tersalurkan dengan Baik
Kekecewaan, kejengkelan, dan kemarahan yang dipendam ibarat bom waktu. Lama-kelamaan, perasaan ini akan meledak dalam bentuk yang tidak sehat. Perlu dipahami bahwa ada perbedaan gaya dalam menyalurkan perasaan. Perempuan cenderung perlu mengeluarkan kata-kata untuk memproses perasaan, sedangkan laki-laki cenderung lebih diam. Memahami perbedaan ini membantu pasangan untuk menciptakan ruang aman bagi komunikasi emosional.
5. Banyak Masalah yang Tidak Terselesaikan
Komunikasi yang buruk adalah pangkal dari masalah yang menumpuk. Ketika masalah tidak pernah tuntas diselesaikan, masalah baru akan terasa semakin berat. Perbedaan cara komunikasi laki-laki yang cenderung lebih sedikit bicara dan perempuan yang lebih banyak bicara seringkali memperparah keadaan. Belajar untuk berkomunikasi dengan efektif, termasuk mendengar secara aktif, adalah kunci untuk memutus lingkaran ini.
6. Kekerasan dan Ketidakpedulian
Tahap paling berbahaya dari sebuah pernikahan adalah ketika kepedulian dan kasih sayang mulai memudar, berujung pada sikap acuh atau "terserah". Perlu diingat, lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian. Ketika satu pihak sudah tidak peduli lagi, upaya untuk memperbaiki hubungan menjadi sangat sulit. Menjaga api kepedulian melalui perhatian kecil sehari-hari adalah benteng pertahanan pernikahan.
Mengenali titik-titik konflik ini adalah langkah awal yang penting. Sebagai pasangan Kristen, kita diajak untuk melihat pernikahan tidak hanya sebagai ikatan manusiawi, tetapi juga sebagai perjanjian yang melibatkan Tuhan. Dengan kerendahan hati, komitmen, dan doa, setiap pasangan dapat belajar melalui setiap tantangan. Musim kering bukanlah akhir dari cerita, tetapi kesempatan untuk menyirami hubungan dengan pengertian baru, kasih yang tulus, dan komitmen yang diperbarui.
Sumber : Jawaban.com