Menjadi orang tua bukanlah tugas yang mudah. Saya, Raya Hartati Hutasoit, seorang guru sekaligus pendidik bagi 50 anak di sebuah asrama, juga seorang ibu dari seorang anak laki-laki bernama Dev. Dalam kesibukan mengurus anak-anak asrama, saya sering merasa lelah, tertekan, bahkan frustrasi.
Yang paling berat adalah saat mengasuh anak saya sendiri. Dulu, ketika Dev tidak menurut, saya sering kehilangan kesabaran. Saya terbiasa menghukum dengan cubitan atau pukulan. Saya pikir itu cara mendidik. Tapi jauh di dalam hati, saya tahu ada yang salah.
Masalah makin berat karena pola asuh saya tidak sejalan dengan suami. Ia cenderung pasif, sementara saya merasa harus menanggung semua tanggung jawab sendirian. Kesatuan sebagai orang tua hampir tidak ada, dan itu membuat saya makin marah dan tidak terkendali.
Titik balik terjadi ketika saya mengikuti The Parenting Project (TPP) dari CBN. Di sana saya belajar bahwa akar masalah saya bukan pada Dev, melainkan pada diri saya sendiri, pada emosi, sikap, dan relasi saya dengan suami. Firman Tuhan melalui TPP membuka mata saya.
Saya belajar bahwa kesatuan dengan pasangan adalah dasar pengasuhan Kristen. Saya mulai berdiskusi dengan suami, menyamakan visi, dan sepakat untuk tidak lagi menggunakan kekerasan. Kami ingin mendidik dengan kasih, bukan ketakutan.
Saya juga belajar mengatur emosi. Sekarang, kalau Dev membuat saya kesal, saya tidak lagi memukul. Saya mencoba menjelaskan dengan sabar. Saya ingat bahwa sebagai orang tua, saya dipanggil untuk menunjukkan kasih Tuhan, bukan melampiaskan amarah.
Hal yang paling berdampak bagi saya adalah berani meminta maaf kepada anak. Saya berkata, “Maaf ya, Mama salah.” Awalnya berat, tapi justru itu membuat Dev juga belajar rendah hati. Sekarang kalau ia salah, ia juga mau minta maaf.
Perubahan ini nyata. Keluarga kami menjadi lebih damai, dan hubungan saya dengan Dev semakin dekat. Bahkan, anak-anak asrama yang saya asuh ikut melihat teladan baru dari saya.
Saya percaya, TPP bukan sekadar motivasi, tetapi sungguh-sungguh mengubah hidup kami berdasarkan firman Tuhan. Saya bertekad untuk terus menjadi teladan, baik di rumah maupun di asrama. Saya bahkan punya kerinduan untuk melanjutkan studi psikologi, supaya bisa menolong lebih banyak orang tua yang berjuang seperti saya.
Tuhan tidak meminta kita menjadi orang tua yang sempurna. Ia hanya meminta kita mau bertumbuh dan menabur firman-Nya dalam keluarga. Saya percaya, jika kita setia, keluarga kita akan menjadi berkat—bukan hanya bagi anak-anak kita, tetapi juga bagi generasi yang akan datang.
Jika Anda sedang menghadapi tantangan saat menjadi orang tua, kami mengundang Anda untuk menghubungi Layanan Doa dan Konseling CBN. Kami siap dengan senang hati memberikan bantuan dan dukungan untuk Anda.
Sumber : Jawaban.com