Sejarah pekabaran Injil di Sulawesi Selatan tidak lepas dari kisah pengorbanan dan semangat yang luar biasa.
Seorang misionaris yang tewas demi memberitakan Injil di Toraja justru menjadi benih bagi ribuan orang menerima Kristus.
Bagaimana kisah ini bermula? Mari kita telusuri jejak misi Kristen di Sulawesi Selatan.
Awal Mula Pelayanan Misi di Sulawesi Selatan
Sejak tahun 1667, wilayah Makassar dan sekitarnya berada di bawah kekuasaan Belanda.
Saat itu, Gereja VOC yang kemudian dilanjutkan oleh GPI menempatkan pendeta-pendeta untuk melayani jemaat Kristen dari kalangan Eropa maupun pendatang pribumi.
Namun, belum ada upaya serius dalam penginjilan kepada suku-suku lokal seperti Makassar dan Bugis.
Sementara itu, organisasi misi Netherlands Zendeliing Genootschap (NZG) atau dikenal juga sebagai NZG yang aktif di Poso, mulai merancang perluasan pelayanan ke wilayah perbatasan Sulawesi Selatan.
Karena keterbatasan sumber daya, mereka bekerja sama dengan Gereformeerde Zendingsbond (GZB) yang belum memiliki ladang pelayanan di wilayah tersebut.
Pada tahun 1913, GZB mendapat izin untuk membuka pelayanan di Palopo dan Rantepao. Misionaris pertamanya adalah Albertus Andreanus van de Loosdrecht yang kemudian dikenal sebagai pionir penginjilan di Toraja.
Pengorbanan Seorang Misionaris
Setelah singgah sebentar di Rantepao, Loosdrecht melanjutkan perjalanan ke Poso untuk belajar dari dua misionaris senior, Dr. Andriani dan Christiaan Kruyt. Sekembalinya ke Toraja pada Mei 1914, ia mulai memberitakan Injil secara intensif.
Pada 23 Mei 1915, ia membaptis lima pemuda Toraja yang menjadi tonggak penting dalam sejarah gereja di daerah ini. Dua tahun kemudian, sebelas orang Toraja lainnya dibaptis.
Namun, pada 26 Juli 1917, Loosdrecht dibunuh oleh sekelompok orang yang menolak kehadiran Kekristenan.
Meskipun perjalanannya berakhir tragis, kematiannya justru menjadi benih pertumbuhan gereja di Tanah Toraja. Ia dikenang sebagai martir pertama di wilayah ini.
Pertumbuhan Gereja dan Pelayanan Sosial
Semangat memberitakan Injil tidak padam. Tahun 1928, GZB kembali mengutus misionaris ke Hongkong dan Seko, lalu menempatkan pelayanan di Palopo tahun 1930.
Hasilnya pun signifikan, hingga akhir 1938, lebih dari 14.000 orang dibaptis di wilayah pelayanan GZB.
Pelayanan misi tidak hanya terbatas pada pemberitaan Injil, tetapi juga mencakup bidang pendidikan dan kesehatan.
Jaringan sekolah desa mulai dibangun, dilengkapi dengan sekolah lanjutan, sekolah guru, dan kursus bagi para penginjil. Di bidang kesehatan, rumah sakit dan pemukiman bagi penderita kusta juga didirikan.
Selain itu, lembaga Alkitab Belanda (NBG) mendukung pelayanan misi dengan mengutus Dr. H. Vander Van yang berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Toraja pada tahun 1960.
Pendewasaan Gereja Toraja
Dalam menghadapi budaya lokal, GZB dan NZG bersikap bijaksana. Rapat besar pada tahun 1922 dan 1929 menghasilkan Peraturan Adat Kristen yang membolehkan jemaat mempertahankan adat selama tidak bertentangan dengan iman Kristen.
Seiring perkembangan, gereja mulai membentuk klasis dan sinode. Pada tahun 1940, jemaat pertama mengajukan kemandirian, dan selama masa pendudukan Jepang, 4 pendeta lokal ditabiskan untuk menggantikan misionaris yang ditawan. Inilah awal dari kemandirian Gereja Toraja secara de facto.
Setelah perang berakhir, Sinode pertama Gereja Toraja digelar pada Maret 1947, menandai kemandirian penuh gereja ini. Saat itu, jumlah anggotanya telah mencapai 25.000 jiwa, sekitar 10% dari total populasi Toraja.
Perjuangan di Tengah Konflik dan Lahirnya Gereja Mamasa
Periode 1950–1965 menjadi masa sulit bagi gereja karena pergolakan Darul Islam di Sulawesi Selatan.
Banyak misionaris terpaksa meninggalkan daerah, dan jemaat Kristen menghadapi tekanan hebat. Namun, justru dalam tekanan ini, ribuan orang memilih menerima Kristus dan Gereja Toraja terus bertumbuh pesat.
Sementara itu, pelayanan di Mamasa juga mengalami perkembangan. GPI menempatkan pendeta bantu sejak 1914 dan menyerahkan pelayanan kepada Christelijke Gereformeerde Kerken (CGK) pada 1928.
Pada 1948, Sinode pertama Gereja Toraja Mamasa (GTM) resmi diselenggarakan, menandai kemandirian gereja di wilayah ini.
Penginjilan di Makassar dan Selayar
Pada tahun 1933, pendeta GPI di Ujung Pandang memperluas pelayanan ke wilayah utara dan Pulau Selayar.
Lembaga misi Reformed Belanda juga turut membuka ladang penginjilan, dengan mengutus Pendeta H. Van Den Brink yang aktif di bidang pendidikan dan pengobatan.
Hasil pelayanan ini membawa dampak nyata. Sebelum Perang Dunia II, puluhan orang telah dibaptis di Makassar, Selayar, dan bahkan di Watansoppeng.
Pada 1966, hasil pelayanan ini dilebur menjadi Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS), yang anggotanya mencapai 6.000 jiwa pada 1989.
Sejarah misi Kristen di Sulawesi Selatan adalah bukti bahwa Injil tidak bisa dihentikan oleh tekanan atau penganiayaan.
Dari pengorbanan seorang misionaris hingga berdirinya sinode-sinode gereja yang mandiri, semua menunjukkan tangan Tuhan yang terus bekerja.
Kiranya kisah ini menginspirasi kita untuk hidup lebih setia dalam mengikut Kristus.
Sejarah Kristen di Sulawesi Selatan, misionaris martir yang membangkitkan pertumbuhan Gereja Toraja selengkapnya bisa Anda tonton dalam video di Jawaban Channel:
Sumber : YouTube Jawaban Channel