Ketika sedang mengalami kesulitan atau penderitaan, sering muncul pertanyaan “dimanakah Tuhan, mengapa Dia tidak menolong saya?”
Ayub, tokoh dalam Perjanjian Lama (Kitab Ayub) yang kerap dianggap telah mengalami ujian hidup yang sangat berat. Namun pada akhirnya kita dapat melihat bagaimana Ayub menerima kehendak Tuhan dan menghormati kebesaran-Nya, meskipun Tuhan tampaknya tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya.
Seiring berjalannya kitab ini, Ayub menjadi semakin frustrasi dengan kebisuan Tuhan. Dalam seruannya "Aku berseru kepada-Mu, ya Allah, tetapi Engkau tidak menjawab, aku berdiri, tetapi Engkau hanya memandang kepadaku" (Ayub 39:9). Ungkapan ini menyampaikan perasaan terisolasi dan ditinggalkan yang dirasakan Ayub, serta keputusasaannya untuk mendapatkan jawaban dari Tuhan. Ayub dihadapkan pada keheningan Tuhan di tengah-tengah penderitaannya (Ayub 39:4-15).
Penulis akan menunjukkan analisis retoris beberapa ayat yang menggunakan bahasa dan citra untuk menyampaikan kedalaman keputusasaan Ayub dan kompleksitas hubungannya dengan Tuhan. Bagian ini dimulai dengan Tuhan mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Ayub tentang alam, seperti "Tahukah engkau, kapan kambing gunung beranak?" (39:4). Mengenai reproduksi anak kambing gunung, manusia tidak tahu kapan mereka melahirkan. Tidak ada yang mengerti atau dapat mengatakan dengan pasti apa yang terjadi di dalam rahim kambing gunung. Apa yang terjadi pada apa yang ada di dalam rahim kambing gunung. Tidak ada yang bisa menghitung dengan tepat berapa lama seekor kambing hamil, berapa bulan kandungannya, atau menentukan hari di mana ia akan melahirkan. Hanya Tuhan yang tahu, mulai dari masa kehamilannya hingga hari kelahiran anaknya. Di sini Tuhan membuat Ayub merenungkan sejauh mana pengetahuannya.
"Siapakah yang mengumbar keledai liar atau siapakah yang membuka tali tambatan keledai jalang? Kepadanya telah kuberikan tanah datar sebagai tempat kediamannya dan padang masin sebagai kemahnya" (Ayub 39:8-9)
Baca Juga: 5 Ucapan Ayub yang Terkenal
Untuk memahami ayat ini, perlu mengetahui sifat keledai liar. Mereka berkeliaran melintasi padang yang luas dalam kawanan dan kelompok, dalam jumlah yang besar dan berlari dengan kecepatan melebihi manusia. Dia bertanya kepada Ayub apakah dia dapat menaklukkan dan menjinakkan makhluk-makhluk liar ini dan apakah dia telah mengatasi kebebasannya. Tujuan dari ayat ini adalah untuk menyadarkan Ayub akan keterbatasannya, bahwa dunia tidak berada di bawah kendali manusia. Ada batas-batas yang tidak mungkin dapat diatasi.
"Dapatkah engkau memburu mangsa untuk singa betina, dan memuaskan selera singa-singa muda, kalau mereka merangkak di dalam sarangnya, mengendap di bawah semak belukar?" (Ayub 39:1-2).
Gambaran ini menunjukkan bahwa Tuhan memiliki kuasa untuk menyebabkan penderitaan dan juga kemampuan untuk memberikan penghiburan, dan Ayub bergumul untuk memahami mengapa ia mengalami penderitaan seperti itu. Dia dihadapkan pada kejadian-kejadian di sekelilingnya, yang merupakan fakta-fakta alamiah yang dapat dilihat dengan pengamatan sederhana. Pertanyaan-pertanyaan ini berfungsi untuk mengingatkan Ayub akan kuasa dan hikmat Tuhan dan untuk menunjukkan bahwa penderitaan Ayub adalah bagian dari rencana yang lebih besar dan misterius, menggambarkan kuasa Tuhan atas alam semesta.
Baca Juga: 5 Pelajaran Penting Dari Kesabaran Seorang Ayub Menghadapi Masalah
Secara retoris, nats tersebut menunjukkan penggunaan metafora dan personifikasi dalam menjelaskan kebesaran Tuhan dan keengganan-Nya untuk memberikan jawaban langsung. Kitab Ayub mengilustrasikan kebesaran Tuhan dengan menggambarkan binatang-binatang yang kuat dan besar, seperti singa, kuda, dan burung rajawali, yang berada di luar kendali manusia dan hanya tunduk pada kehendak Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa Tuhan jauh lebih besar dari manusia dan tidak dapat dipahami.
Akhirnya, bagian ini berakhir dengan Allah terus menanyai Ayub tentang alam semesta tanpa secara langsung membahas penderitaannya. Keheningan ini dapat dilihat sebagai sebuah perangkat retorika, karena membuat pembaca memiliki pertanyaan yang sama dengan Ayub: mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan? Apa sifat hubungan kita dengan makhluk ilahi yang tetap diam dalam menghadapi penderitaan kita?
Melalui penggunaan metafora dan personifikasi, kitab tersebut membantu kita untuk memahami bahwa Tuhan tidak selalu memberikan jawaban langsung atas pertanyaan kita. Ini bukan karena Tuhan tidak peduli atau tidak ada. Sebaliknya, kehendak-Nya jauh lebih besar dan tidak selalu dapat dipahami oleh manusia. Oleh karena itu, sebagai manusia yang memiliki pemahaman yang terbatas, kita harus menghormati kebesaran Tuhan dan mempercayakan diri kita kepada-Nya.
Dalam konteks lain Ayub 39:4-15 mengajarkan kita untuk tetap percaya dan taat kepada Tuhan bahkan ketika kita menghadapi penderitaan dan ketidakpastian dalam hidup. Kita harus menghormati kebesaran-Nya dan mempercayakan diri kita kepada-Nya, meskipun terkadang kita tidak dapat memahami rencana-Nya. Dengan cara ini kita dapat memperkuat hubungan kita dengan Tuhan dan menemukan kedamaian dalam hidup kita. Bagian ini menantang para pembaca untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit tentang hakikat penderitaan dan peran makhluk-makhluk ilahi dalam hidup kita, bahkan di tengah-tengah keheningan.
Baca Juga: Setelah Yesus, Ini 7 Tokoh Paling Terkenal Dalam Alkitab
Pertanyaan-pertanyaan retoris Tuhan kepada Ayub sengaja diajukan untuk menggugah kesadaran Ayub tentang kebesaran Tuhan. Dari penggunaan spesies binatang yang diajukan Tuhan kepada Ayub, bahwa setiap binatang memiliki peran dalam menjelaskan sifat Tuhan yang tak terbatas dan tak terkalahkan. Ayub dibuat tidak berdaya dengan keberadaan binatang-binatang tersebut. Pada akhirnya, Ayub dituntun untuk menyadari ketidaktahuannya akan cara hidup binatang-binatang tersebut. Di sini Tuhan membawa Ayub untuk merenungkan seberapa besar pengetahuan yang ia miliki. Ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, yang berhubungan dengan fakta-fakta alam yang dapat dilihat dari pengamatan sederhana, namun pertanyaan ini berada di luar kemampuan Ayub untuk menjawabnya.
Kisah Ayub memberikan pelajaran berharga tentang nilai kerendahan hati. Ayub memang dinyatakan sebagai orang yang saleh dan jujur, namun pernyataan ini justru membuat Ayub mempertanyakan keadilan Tuhan terhadap dirinya. Ia melihat peristiwa yang menimpanya sebagai bentuk ketidakadilan Tuhan. Pertanyaan retoris Tuhan kepada Ayub tentang berbagai binatang justru mendorong Ayub untuk melihat kebesaran Tuhan dan betapa kecilnya dirinya. Ketidakmampuan Ayub menjawab pertanyaan Tuhan, menyadarkan Ayub bahwa ia memiliki keterbatasan, meskipun ia menyandang predikat orang saleh dan jujur. Sering muncul pemikiran bahwa orang benar pasti terhindar dari penderitaan dan tidak sedikit berpandangan bahwa penderitaan terjadi karena dosa, dan itulah keadilan Tuhan. Dari kisah Ayub, kita dapat melihat bahwa peristiwa-peristiwa yang dialaminya mematahkan pandangan tersebut.
Manusia tidak dapat menilai keadilan Tuhan berdasarkan apa yang dialaminya. Hanya karena dia merasa benar, lalu menderita dan kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan tidak adil. Orang percaya harus percaya bahwa meskipun mengalami penderitaan, Tuhan tetap adil. Keadilan Tuhan tidak dipengaruhi oleh apakah Dia mendapatkan hal yang baik atau buruk.
Ketiga, manusia harus menyadari keterbatasannya di hadapan Tuhan, keterbatasan yang membuat manusia tidak dapat memahami rencana Tuhan sepenuhnya. Pertanyaan-pertanyaan yang Tuhan berikan kepada Ayub menyadarkan Ayub akan keterbatasannya dalam memahami segala hikmat dan pemeliharaan Tuhan atas seluruh ciptaan. Hal ini mengajarkan bahwa meskipun manusia tidak mengerti rencana Tuhan dalam hidupnya, ia harus tetap percaya dan tidak pernah meragukan Tuhan.