Diberi Karunia Memiliki, Menikmati dan Memberkati
Sumber: Rimma.com

Kata Alkitab / 15 November 2021

Kalangan Sendiri

Diberi Karunia Memiliki, Menikmati dan Memberkati

Lori Official Writer
10876

Seorang pengusaha kaya raya baru saja membeli sebidang tanah seluas ratusan hektar di tepi sebuah pantai. Ia pun pergi untuk meninjau lokasi tersebut. Ia berdiri sambil menatap keindahan laut dan membayangkan suatu ketika kawasan itu menjadi pusat perekonomian. Ia tersenyum tanda bahwa ia amat bangga atas apa yang akan segera dikerjakannya.

Setelah puas mengamati, ia kemudian berjalan menuju ke arah mobilnya. Tiba-tiba langkahnya itu dihentikan oleh suara seorang pria. "Selamat pagi kawan," ujar si pria yang sedang duduk bersantai sambil menikmati panasnya sinar mentari. Si pengusaha menoleh. "Selamat pagi. Hei... kenapa kamu di situ saja? Apakah kamu tak punya kerjaan?" kata si pengusaha. "Aku seorang nelayan," jawab orang itu.

Perbincangan pun berlanjut. "Kalau begitu pergilah ke laut dan tangkaplah banyak ikan," himbau si pengusaha. "Oh, aku sudah ke laut tadi pagi. Sekarang aku sedang menikmati hidupku sambil melepas lelah," jawab nelayan. "Sekarang kembali lagi ke laut," himbau si pengusaha, kali ini dengan nada agak tegas. "Tapi untuk apa?" tanya nelayan. "Tangkap lagi ikan sebanyak-banyaknya," jawab si pengusaha.

Sejenak nelayan diam, kemudian menyahut, "Trus...". Sang pengusaha menyahut, "Ya, kemudian kamu jual ikan itu supaya uangmu bertambah banyak sehingga kamu menjadi kaya"

"Kemudian apa yang harus kulakukan?" tanya nelayan lagi.

"Kamu tinggal menikmati hidupmu," kata pengusaha.

 

Baca Juga: 3 Rahasia Memiliki Hidup Yang Diberkati dan Berkecukupan

 

Dengan wajah polos dan sambil tersenyum, si nelayan berkata, "Lo, emangnya apa yang sedang kulakukan sekarang..." Si pengusaha terdiam dan berlalu sementara nelayan terus menikmati sinar matahari dan angin pantai yang berhembus sepoi-sepoi. Ia betul-betul menikmati hidupnya.

Cerita di atas tampaknya sedang menyindir kehidupan banyak orang yang diisi dengan kegiatan mengejar kekayaan semata. Dulu saya pernah berpikir bahwa memiliki banyak uang adalah tanda kesuksesan. Namun seiring perjalanan waktu saya menyadari bahwa hal tersebut adalah keliru. Bukankah dengan jelas kita bisa melihat begitu banyak orang kaya yang mati bunuh diri? Atau orang kaya yang hidupnya hanya diisi oleh stres, kekhawatiran dan ketakutan akan kematian?

Tampaknya nasihat dari Ibu Teresa patut kita renungkan. "Ketika seseorang berurusan dengan uang, orang itu akan kehilangan hubungan dengan Allah... Suatu hari muncullah keinginan untuk memiliki banyak uang dan segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Kebutuhan-kebutuhan semakin meningkat karena satu hal berkaitan dengan hal lainnya. Akibatnya adalah ketidakpuasan yang tidak terkendali," katanya.

Saya bukannya orang yang anti uang. Menurut saya, uang hanya sebuah sarana dalam menopang kehidupan dan dapat menjadikan kehidupan kita lebih bermanfaat baik bagi diri sendiri, keluarga maupun sesama.

Terkadang ada orang yang sinis dengan uang dan berkata bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Menurut saya itu benar tapi apakah kemiskinan bisa membeli kebahagiaan? Anda mungkin pernah melihat bagaimana seorang suami tega menjual istrinya atau ayah menyuruh anak melacurkan diri akibat kemiskinan.

 

Baca Juga: Kelimpahan Yang Sesungguhnya

 

Orang-orang yang alergi terhadap uang barangkali belum pernah hidup miskin sehingga berani mengatakan uang tidak penting. Saya masih ingat pengalaman diusir dari tempat kos karena tidak mampu membayar tepat waktu dan dihina oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat dengan kami saat bisnis orang tua saya mengalami kebangkrutan. Benar kata orang bijak bahwa dalam masa senang teman-teman mengenal kita namun dalam masa sulit kita mengenal siapa teman-teman kita. Ketika hidup kita senang, banyak yang datang menghampiri. Persis seperti pepatah ‘ada gula ada semut' namun begitu hidup kita susah, satu per satu akan menjauh. Begitulah manusia!

Saya sepenuhnya percaya Tuhan menginginkan kita hidup dalam segala kelimpahan, termasuk dalam segi finansial namun kekayaan kita hendaknya digunakan demi kemuliaan nama Tuhan. Caranya adalah dengan menjadikan kekayaan tersebut berkat bagi sesama. Semakin kaya kita, semakin besar pula kesempatan yang kita miliki untuk membantu mereka yang sangat membutuhkan.

Jika berbicara tentang hal ini, saya sering teringat akan kisah seorang pemuda yang memiliki cita-cita untuk menjadi misionaris di Afrika. Sayangnya, setelah menikah ia baru mengetahui kalau keadaan kesehatan istrinya tidak memungkinan mereka berdua untuk pergi ke Afrika. Pemuda ini menjadi begitu tertekan. Ia depresi!

Ia terus bergumul. Ia marah bercampur bingung. Bagaimana mungkin Tuhan memanggilnya untuk tugas mulia tersebut namun menutup pintu baginya untuk berkarya? Sampai suatu ketika Tuhan menyadarkan dia bahwa ia masih tetap bisa menjalankan komitmennya itu di manapun ia berkarya.

Pemuda ini kemudian membantu ayahnya memproduksi anggur untuk keperluan perjamuan kudus di gereja. Ketika ayahnya semakin tua, pemuda ini mengambil alih usaha tersebut dan bertekad memanfaatkannya demi kemuliaan nama-Nya. Siapa menduga usaha terus berkembang dan ia kemudian dikenal sebagai orang yang menyumbangkan dana dalam jumlah besar bagi kepentingan misi di dunia. Ia menggunakan kekayaaannya demi perluasan kerajaan Allah di dunia. Nama pemuda ini adalah Mr. Welch.

Jika saat ini hidup Anda diberkati, bersyukurlah kepada Tuhan. Nikmatilah apa yang Anda miliki dan jangan lupa untuk memberkati kehidupan orang lain sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan.

 

Baca Juga: Bagaimana Menikmati Kehidupan Ini?

 

Dia akhir perjumpaan ini, saya ingin mengajak kita semua merenungkan sebuah nasihat kecil dari Ibu Teresa mengenai uang dan kekayaan: "Siapa saja yang hidupnya tergantung pada uang atau selalu cemas atasnya, dia sesungguhnya orang miskin. Bila orang itu menggunakan uang untuk melayani orang lain, orang itu menjadi kaya, benar-benar sangat kaya."

Sumber : Dikutip dari Buku Melangkah Maju di Masa Sulit oleh Paulus Winarto
Halaman :
1

Ikuti Kami