Seperti yang kita ketahui bahwa semakin hari, semakin banyak
orang bahkan anak muda memilih untuk mengakhiri hidup mereka lantaran sangat
stres dan penuh masalah, nggak hanya di luar gereja bahkan di dalam gereja pun hal ini bisa dialami oleh anak-anak muda.
Baru-baru ini, seorang pria bernama Steve Austin bersaksi
tentang pengalaman bunuh diri yang dia lakukan 7 tahun yang lalu. Waktu itu, dia sedang stres banget dan
melakukan pencobaan bunuh diri pas usianya masih 29 tahun, tepatnya di kamar hotelnya, sementara dia sambil memangku Alkitab.
Dalam sebuah op-ed yang diterbitkan oleh USA Today, Minggu
(22/09/19) lalu, Austin menuliskan kronologi pencobaan bunuh diri yang dia lakukan.
"Pada usia 29 tahun, hidup saya sudah mencapai titik dimana saya merasa nggak ada harapan, jadi saya mencoba untuk bunuh diri di kamar hotel saya dengan Alkitab di pangkuan saya. Saya berdoa bahwa besok saya tidak akan bangun lagi. Itu sudah 7 tahun yang lalu."
Dalam buku yang dia terbitkan tahun 2016, From Pastor to a Psych Ward: Recovery from a Suicide Attempt is Possible, penduduk asli Alabama ini menceritakan bagaimana dia diselamatkan oleh Tuhan dari pelecehan seksual yang dialami pas kecil, bagaimana dia selamat dari penyakit mentalnya dan berjuang dengan kecanduan porno sebelum akhirnya dia kehilangan pekerjaannya hanya karena kesalahan yang tidak etis dengan anak buahnya.
Pada saat itulah,Austin mengalami stres dan merasa bahwa
hidupnya benar-benar nggak layak untuk dijalani dan akhirnya dia memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya di kamar hotel dengan meminum obat-obatan dan alami kelebihan dosis.
"Ketika polisi dan paramedis membuka pintu, mereka mendorong saya melewati kursi panjang, dapur dan meja topi, dan mereka melihat tubuh saya ada disana, di kamar hotel. Aku terlentang penuh muntah. Ada muntah dimana-mana, baik itu di tempat tidur, di lantai, di dinding belakang saya, dan itu menutupi sebuah foto besar yang tergantung di belakang tempat tidurku. Pas mereka menemukanku, mereka kita itu adalah pembunuhan<" tulisnya.
"Pil Benardyl yang saya minum itu warnanya merah muda, ada puluhan ribu milligram lainnya resep dan obat yang saya minum, dan itu membuat muntahku seperti darah. Mereka pikir aku sudah mati dan harusnya sih sudah mati. Aku memang ingin mati, aku pingsan itu hampir 12 jam," katanya.
Tapi sejak kejadian itu, Austin mendapatkan pengobatan dan terapi serta dukungan dari keluarganya, sehingga akhirnya dia pulih.
"Dalam tujuh tahun terakhir, aku sudah menginvestasikan banyak waktuku dan energiku untuk melepaskan intimidasi yang aku percaya tentang siapa diriku dan Tuhan. Hari-hari ini, aku merasa semakin jelas tentang siapa aku yang sebenarnya, tentang mengapa aku ada disini, dan apa yang aku inginkan dari kehidupan yang berantakan dan berharga ini," tulis Austin di Facebooknya pada bulan Juni lalu.
Di tahun 2019 ini, Austin mengaku lebih banyak meditasi dan
istrahat untuk dirinya sendiri serta lebih banyak memberi waktu untuk mencintai dirinya sendiri.
Sekarang, setelah bunuh diri kemarin, rekan pendeta Austin yaitu Jarrid Willson sebelum meninggal bunuh diri, sempat membantunya keluar dari penyakit mentalnya.
"Setelah bertahun-tahun menjalani terapi, saya akhirnya
memutuskan bahwa gereja itu perlu mirip dengan bangsal psikis. Inilah yang
kumaksud, dalam terapi kelompok dimana duduk dalam lingkaran, semua orang saling memandang dan saling mendukung.
Di gereja, jemaat hanya menghadap kepada satu orang, ini bukan komunitas. Tapi hidup saya diubah oleh hidup dalam komunitas dengan orang-orang yang nggak stabil pada titik terendah dalam hidup mereka. Kami datang bersama, mencari dukungan di tempat yang aman dan semua dengan tujuan untuk menjadi lebih baik," tulisnya di USA Today op-ed.
"Alih-alih menghabiskan waktu berjam-jam dan berdollar-dollar untuk menciptakan pertunjukan dan membangun citra, harusnya gereja itu bekerja menuju transparansi dan berivestasi dalam kelompok-kelompok yang mendukung kesehatan mental serta mengadakan dialog terbuka,"jelasnya
Diantara saran yang dia miliki tentang gimana gereja harus membantu umat paroki berjuang dengan penyakit mental, Austin merekomendasikan adanya kotak doa khusus untuk mereka yang bermasalah dengan mental, dan memfasilitasi dialog yang terbuka dan jujur tentang masalah ini, baik secara pribadi ataupun di atas mimbar.
"Membantu mereka yang menghadapi luka bukan berarti kita
bisa memperbaiki semuanya. Tapi gereja secara alami adalah budaya untuk
memperbaikinya, dan aku menantang kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik
yaitu mempraktikkan penerimaan radikal, seperti melalui kasih karunia, kasih
dan mendengarkan satu sama lain. Sama seperti bangsal psikis, orang-orang
Kristen dengan penyakit mental harusnya mencari komunitas rohani yang menyambut
mereka dengan segala kekecewaan mereka serta kelelahan mereka. Sama halnya
seperti Yesus yang menyambut orang-orang dengan sepenuh hati, jadi sudah
waktunya bagi gereja untuk menyediakan tempat khusus untuk mereka yang memiliki beban," lanjutnya.
Apakah di komunitas di gerejamu sudah melakukan hal seperti
ini? Yakni menerima mereka yang memiliki masalah dengan mental mereka. Jika
belum, maka ini adalah saat yang tepat untuk kamu mempraktikkannya. Gereja itu
adalah rumah, bukan hanya tempat bersinggah.