Pembahasan Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah ketok palu pada Minggu (15/9) kemarin.
Itu artinya DPR akan segera membawa RKUHP ini ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan pada 24 September 2019 pekan depan.
Namun setelah
mengetahui isi dari RKUHP, ada banyak pihak yang mulai merasa tidak sepaham
dengan beberapa butir di dalamnya. Salah satunya adalah tentang pengguguran kandungan
atau aborsi yang tercantum dalam Pasal 251, 470, 471 dan 472. Di sana disampaikan
bahwa perempuan yang kedapatan menggugurkan kandungan dengan obat atau meminta
bantuan dari pihak lain akan dipidana empat tahun penjara. Hukuman serupa juga berlaku bagi pemberi bantuan dalam praktik mengugurkan kandungan.
Namun jika penguguran
kandungan dilakukan tanpa persetujuan dari yang sedang mengandung maka akan dipidana
paling lama 12 tahun. Jika praktik aborsi tersebut menyebabkan kematian maka hukumannya akan diperberat menjadi 15 tahun penjara.
Merasa jika
pidana ini justru mendiskriditkan perempuan korban perkosaan, Direktur Eksekutif
Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara pun angkat suara dan meminta
hak perempuan korban perkosaan secara hukum. Dia mendesak DPR untuk merevisi pidana
tersebut kecuali bagi korban perkosaan. Sebab dia menyampaikan jika dalam UU
Kesehatan telah diatur jika korban perkosaan bebas hukuman jika melakukan praktik aborsi.
“UU
Kesehatan saat ini adalah momentum kunci pengaturan aborsi di Indonesia bahwa aspek kesehatan merupakan pertimbangan pertama terkait praktik aborsi,” katanya.
Senada
dengan itu, UU terbaru yang sudah dirancangkan DPR soal pidana terkait penghinaan terhadap Presiden juga jadi bahan permasalahan.
Aliansi Nasional Reformasi RKUHP berpendapat bahwa UU tersebut hanya akan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. Bahkan sangat dikhawatirkan hanya jadi pasal karet karena kriteria tentang menyerang kehormatan itu tidak spesifik.
Baca Juga:
Lewat Film, Sutradara Muda Ini Serukan Agama Rawat dan Jaga Alam Semesta
Bukit Masbait, Bukti Hidupnya Toleransi Solid di Tengah Masyarakat Maluku
Adapun isi dari
UU penghinaan Presiden ini termuat dalam Pasal 218 dengan pidana maksimal 3,5
tahun atau denda Rp150 juta dan 219 dengan ancaman hukuman paling lama empat
tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.
Sementara dua
pasal lain yang dianggap terbilan masih sangat baru adalah soal penggunaan kontrasepsi seperti kondom dan pidana terhadap pemaksaan hubungan seks kepada pasangan.
Dalam pasal
pidana penggunaan kontrasepsi berupa kondom, dicantumkan bahwa setiap orang yang
secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan atau
menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak di bawah umur akan dipidana denda. Hal
ini tercantum dalam Pasal 414 RKUHP. Terkait hal ini, Pasal 417 RKUHP mengatur pidana
terhadap pelaku yang melakukan seks di luar hubungan pernikahan. Pasal ini menetapkan
bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya bisa terancam hukuman 1 tahun penjara dan denda kategori II.
Paling
uniknya, RKUHP terbaru ini juga menetapkan pidana kepada pasangan menikah yang memaksakan hubungan seks dengan pasangannya, baik suami ke istri dan sebaliknya.
Aturan ini dituangkan
dalam Pasal 480 ayat 1 yang dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya akan dipidana penjara
selama 12 tahun. Di ayat 2 juga ditegaskan bahwa pemaksaan hubungan suami istri
juga dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. Pidana ini juga berlaku bagi
persetubuhan dengan anak atau dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Penerbitan RKUHP
ini tentu saja penting untuk diketahui, mengingat sebagai warga negara Indonesia
kita patut mendapat hak di depan hukum. Dan sebagai umat beragama kita juga perlu
memahami bahwa larangan yang terdapat di dalam ajaran firman Tuhan atau Alkitab
sudah seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa. Karena kehidupan
agama harus selaras dengan kehidupan berbangsa.
Terlepas
dari beberapa bagian yang diprotes dalam RKUHP, kita berharap UU baru ini benar-benar
menjamin hak semua warga negara dengan adil dan merata.