Pada Juli 2019 lalu, Pendeta pembantu di Gereja Bethel Indonesia
(GBI) Bekasi, Rolas Jakson Tampubolon ajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang (UU) Perkawinan pasal 39 ayat 1 soal perceraian.
Terkait permohonan itulah, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan
bahwa pasal tersebut bersifat universal. Merubah pasal hanya akan berdampak pada
konstruksi pasal itu sendiri. Karena Pasal 39 ayat (3) menyatakan perceraian di
pengadilan berisi syarat tentang tata cara pelaksanaan pendamaian kedua belah pihak.
“Jadi sebenarnya siapapun yang bercerai akan terkena syarat-syarat
yang mengatur tata caranya. Saya di sini ingin berilustrasi, apa kira-kira konsep
ini tepat diajukan? Apabila melihat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 di dalamnya memuat secara
teknis aturan pelaksanaan perceraian yang dimaksud,” ucap Suhartoyo dalam sidang pendahulu gugatan UU perceraian di Gedung MK pada Kamis (12/9).
Sementara Hakim Konstitusi Enny menyampaikan kepada Pendeta
Rolas untuk menjabarkan kerugian yang dialaminya selaku pemuka agama yang
berperan mewujudkan kehidupan selaras dan seimbang dalam kehidupan beragama. Dia
menuturkan setiap kasus perceraian memang tak mudah dihadapi karena ada beberapa langkah yang perlu dilakukan sebelum sepasang suami istri memutuskan bercerai.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi lainnya menyampaikan kepada Pendeta Rolas untuk kembali mendalami PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 soal aturan pelaksanaan perceraian. Dengan itu mungkin bisa diambil cara tepat untuk mengkonseling pasangan yang ingin bercerai di gerejanya.
Baca Juga :
Adapun dalam pernyataannya, Pendeta Rolas sendiri mengaku jika
sebenarnya pengajuan evaluasi UU Perkawinan ini dilatarbelakangi karena keprihatinannya
terhadap jemaat yang mengalami masalah dalam rumah tangga yang berujung cerai. Di
satu sisi, dia memandang bahwa UU tersebut masih terlalu memudahkan suami istri untuk bercerai.
Hal yang paling membuatnya miris adalah ketika dia mendapati
banyak jemaat yang rumah tangganya bermasalah langsung mengajukan gugatan
perceraian ke pengadilan daripada lebih dulu melakukan konseling dengan pendeta atau pihak gereja.
Dia menilai akan lebih baik jika UU tersebut diisi dengan arahan
kepada pasangan menikah untuk lebih dulu diselesaikan secara internal baru kemudian
ke pengadilan. Apalagi mengingat bahwa umat Kristen sendiri melarang terjadinya perceraian. Karena pernikahan itu adalah ikatan sekali seumur hidup.
“Pasal ini masih lemah dalam dimensi hukum yang dianut
pemohon, dimana pemohon wajib meluhurkan ajaran Tuhan dalam Alkitab, yang salah satu ajaran Alkitab adalah melarang perceraian,” katanya.
Dia pun mengusulkan supaya MK membuat ketentuan hukum yang
mengikat dimana perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah suami istri memperolah keterangan bimbingan perkawinan dari tokoh agama
yang hukum agamanya melarang perceraian,” kata Pendeta Rolas.
Seperti diketahui, UU Perkawinan Pasal 39 ayat 1 berbunyi, ‘Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhenti mendamaikan kedua belah pihak.’