Kita semua tau bukan berita yang sedang hot dan beredar
sekarang ini, yakni rasisme yang terjadi di Papua dan Surabaya yang bahkan
berdampak ricuh. Nggak hanya pemerintah daerah, bahkan polisi pun turun tangan dalam mengamankan peperangan rasis yang terjadi ini.
Menyikapi hal yang terjadi, seorang tokoh agama Kristen di
Papua, yakni Jhon Baransano mengajak agar negara mau memberi keadilan dengan
menegakkan hukum positif terkait rasisme.
Dikutip dari Antaranews, John berkata bahwa negara harusnya memberi rasa
adil dengan membiarkan pelaku rasis ditangkap
disidang secara terbuka, supaya kesadaran masyarakat Papua terus bertumbuh.
Nggak cuma itu, dia juga menilai kalau negara terkesan lambat
sekali dalam menangani masalah ini, sehingga beberapa kota di Papua terjadi ricuh karena amarah masyarakat.
"Rasisme itu ditentnag di seluruh dunia, bahkan kita tahu
bersama bahwa negara telah membuat undang-undang tentang rasisme itu, yakno Undang-Undang
Nomor 400 tahun 2008 (Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis,Red)," kata Jhon.
John juga berharap bahwa seharusnya negara bisa memberikan
rasa aman dengan adanya tindakan hukum terhadap mereka yang rasis. Mereka
harusnya dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang, yakni 7 tahun penjara atau denda sekitar 100 Milliar lebih.
"Ini yang sebenarnya orang Papua minta ada penegakan
hukum itu, sebenarnya tidak ada eskalasi konflik yang besar kalau saat itu negara langsung menyelesaikan masalah ini,"ujar john.
John juga berharap presiden Joko Widodo nggak cuma mengatakan
kata 'maaf' tapi bergerak dalam menyelesaiaknnya secara hukum, supaya kejadian yanng sama nggak terulang kembali.
Jika negara menyelesaikan masalah ini dengan cepat, kemungkinan eskalasinya nggak meluas.
"Saya nggak melihat persoalannya, tapi melihat gimana rasisme itu terus berkembang secara luar biasa," katanya.
Selain John, Pendeta Gomar Gultom, yang adalah Sekretaris Umum
PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia)
sebelumnya pernah melontarkan hal yang seirama, dimana dia berharap
bahwa pemerintah Indonesia bisa menyelesaikan permasalahan yang mendasar terkait rasisme di Papua ini.
Dikutip dari Antaranews, Pendeta tersebut sempat melontarkan bahwa persoalan rasisme di Surabaya dan Malang bisa memicu letupan yang buruk, dan ternyata hal itu terjadi dalam unjuk rasa, bakar-bakaran yang terjadi di Papua baru-baru ini.
BACA JUGA :
Wah, Berbeda Dengan Gereja Lain, Gereja Ini Malah Menerima LGBTQ Dengan Terbuka!
"Persoalan yang terjadi di Surabaya dan Malang ini bisa
memicu letupan seperti sekarang ini, itu pasti karena ada sesuatu yang
terpendam. Jadi pemerintah harusnya bisa menangkap itu, " katanya ketika
ditemui Senin kemarin (9/09/2019) di Kantor Pengurus Besar Nadlatul Ulama di Jakarta.
Pendeta Gultom berharap permasalahan bisa diselesaikan dengan
membentuk Komisi HAM, pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berkedudukan di Papua.
Dia juga mengatakan bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) sudah membuat satu peta jalan untuk menyelesaikan pembangunan di Papua,
sayangnya pemerintah belum membuka diri untuk hasil penelitian ini. Padahal
dari hasil penelitian ini pemerintah bisa menyelesaikan banyak hal seperti
masalah HAM, pelurusan sejarah Papua serta mengutamakan dialog sehingga tak ada lagi rasisme di masa mendatang.
Mengenai respon dari presiden Jokowidodo terkait rasisme ini,
dia selalu memberitahu agar dilakukannya pendekatan kultural antara masyarakat
agar tetap aman, cuma menurut PGI sampai hari ini apa yang dilontarkan presiden tidak sejajar dengan kenyataan yang ada di Papua.
"Presiden Jokowi sudah berkali-kali bilang harus
menggunakan pendekatan kultural tetapi kenyataan di lapangan tidak sejajar
dengan itu, pendekatan seperti itu akan terus menimbulkan luka bati bagi
masyarakat," kata dia.
Semoga masalah itu cepat selesai ya dan kita berdoa agar
Pemerintah sigap melakukan cara yang baik untuk mengamankan situasi rasisme di
tanah Papua sehingga Indonesia tak lagi ricuh hanya karena rasis. Kita semua
kan saudara, lantas kenapa harus berantem atau ricuh hanya masalah suku dan
etnis bukan? Tidakkah kita Bhineka Tunggal Ika?