Kesibukan
selalu menyita waktuku setiap hari, mulai dari bekerja, mengerjakan tugas rumah
dan membayar tagihan. Hal itu membuatku hampir lupa dengan orang lain. Sampai akhirnya calon ibu mertuaku meninggal.
Dia
meninggal setelah melawan kanker selama lebih dari 10 tahun, bahkan saat aku
sudah bertemu suamiku. Aku tak pernah menyangka di detik-detik terakhir hidupnya, aku melewatkan perbincangan singkat dengan dia.
Aku selalu
berada di sampingnya di hari-hari terakhirnya. Aku bahkan mengaku begitu
bersyukur karena ibu mertua ku telah membesarkan pria yang begitu luar biasa seperti suamiku.
Saat pertama
bertemu ibu mertuaku, dia terlihat sangat sabar, kuat dan optimis. Aku tak
pernah tahu kalau dia berjuang melawan kanker kalau saja suamiku tak
memberitahuku. Dia dan aku berkencan selama hampir lima tahun sebelum kami bertunangan dan aku tak sabar lagi jadi menantu perempuannya.
Di mataku,
dia adalah wanita yang sangat optimis. Sekalipun kanker yang dideritanya tampak
begitu buruk, rasa optimisnya membuatku berpikir kalau dia akan baik-baik saja.
Tapi
kankernya mulai menyebar, suamiku dan keluarganya tampak tak terlalu berkecil hati.
Meskipun dari raut wajah ibu mertuaku, dia tampak mulai kehilangan harapan. Dia
menyampaikan kalau mungkin dia tak akan ada bersama dengan kami di pernikahan kami nanti. Komentar-komentar kecil seperti itu terus muncul.
Sampai suatu
hari, aku dan suamiku mengajaknya jalan-jalan. Dia tampak biasa-biasa saja karena memang kondisi kesehatannya yang sudah semakin menurun.
Mempertimbangkan
kesehatannya, aku berpikir untuk mengundur tanggal pernikahan kami yang sebelumnya
dijadwalkan di akhir bulan Desember. Lalu kami meminta pengunduran tanggal dengan
pihak gedung, gereja dan fotografer. Kami akhirnya memutuskan menikah di bulan Mei.
Beberapa
minggu sebelum pernikahan, kesehatannya semakin menurun. Suamiku memberitahuku bahwa
dia kuatir jika ibunya tak sempat hadir dalam pernikahan kami. Di sisi lain,
aku juga kuatir jika dia tak ada di sana untuk menyaksikanku resmi menjadi menantunya.
Tanpa pikir
panjang, aku segera melaju menuju kediaman suamiku. Setiba di sana, aku duduk
di sebelah tempat tidurnya dan memegang tangannya. Aku berterima kasih karena sudah
membesarkan putranya yang akan menjadi suamiku. Aku ingin memastikan kalau putranya
adalah sosok yang lembut, baik hati, penuh kasih sayang, bijaksana, setia dan
kuat. Dia benar-benar telah mewariskan karakter yang persis sama kepada
putranya. Aku bahkan menyampaikan kalau aku begitu mencintai putranya dan merasa
terhormat bisa menjadi istrinya. Aku berterima kasih kepadanya karena sudah mendidik putranya untuk menghormati wanita dan mencintai dengan setia.
Mendengar hal
itu, dia pun kembali menyampaikan kalimat yang membuatku begitu bahagia. Dia mengaku
bersyukur atas apa yang saya sampaikan soal putranya. Dan itu adalah percakapan terakhir yang pernah kami lakukan.
Selama 24
jam kemudian, kondisi ibu mertuaku semakin buruk. Dia tak lagi bisa merespon
dengan benar. Hal ini membuatku untuk menyarankan bagaimana jika kami memanggil
pendeta untuk menikahkan kami di rumah saja. Awalnya, suamiku menolak dan yakin
kalau ibunya akan baik-baik saja. Sementara anggota keluarga lainnya mengaku
setuju denganku. Saat kami mencoba membangunkannya dengan lembut untuk
memberitahukan rencana ini, matanya terbuka. Dia menarik napas dan dengan pelan bergumam, ‘Itu rencana yang bagus.’
Pada
tanggal 6 Mei, kami menikah di samping tempat tidurnya. Kakak ipar dan keponakan
perempuanku mengenakan gaun pengiring pengantin. Suamiku duduk bersama ibu
mertuaku saat kami menyanyikan lagu yang seharusnya kami nyanyikan di pernikahan kami nanti.
Perlahan, aku
membungkuk dihadapannya dan berbisik kalau aku sudah resmi jadi istri dari
putranya. Matanya tak terbuka, tapi terpancar senyum kecil di wajahnya. Aku benar-benar percaya dia tahu apa yang terjadi pada hari itu.
Aku tak
bisa membiarkannya meninggalkan dunia ini tanpa mengetahui dampak yang dia buat
atas hidupku. Hari itu, aku belajar bahwa kematian tak akan bisa membatasi kita
untuk tidak mengakui perasaan kita kepada orang lain. Peristiwa itu membuatku
menjadi seorang yang selalu mau dengan berani mengakui perasaanku kepada orang
lain.
Hari ini, peristiwa
itu sudah 7 tahun berlalu. Tiga tahun setelah peristiwa itu kami menyambut anak
pertama kami dan menamainya nama akhir dari ibu mertuaku. Dan aku selalu
bersyukur bisa memiliki kesempatan untuk menyampaikan apa yang aku rasakan
sebelum dia meninggalkan kami.