Seorang anak lelaki berusia 8
tahun bernama Hayden Ellis bertugas untuk mempresentasikan sesuatu di depan
kelasnya. Ia telah mempersiapkan materi yang berisikan tentang kisah yang
diambilnya dari Alkitab. Namun, ketika gilirannya tiba, Hayden justru diminta berhenti oleh gurunya.
"Guru minta saya untuk
berhenti berbicara," ungkap Hayden pada ayahnya, John Ellis, yang menceritakan kronologi cerita anaknya tersebut di sebuah kolom PJ Media.
Hayden berkata kalau gurunya
langsung memanggil murid selanjutnya dan tidak memperbolehkannya untuk meneruskan ceritanya.
"Anak saya telah membaca
kisah Daniel dan ingin menceritakan kisah yang telah dibacanya tersebut kepada
teman-temannya. Apa yang tidak disadarinya adalah bahwa Alkitab, tidak peduli
seberapa pentingnya itu, belum tentu diterima oleh orang banyak," tulis John dalam kolom tersebut.
Hayden bersekolah di sebuah
sekolah publik di Arlington County, Virginia, Amerika Serikat, salah satu kota yang progresif di negaranya tersebut.
Pengalaman yang terjadi atas
Hayden ini sekaligus
menyoroti keacuhan dan sikap intoleran secara keseluruhan.
Sebagai orang tua, John mengaku
kalau dirinya kecewa terhadap lingkungan yang membangun tembok antagonis pada Kristen, yang mana hal ini tidak membuatnya heran.
"Sebelum Yesus naik ke
surga, Ia mengatakan kalau dunia membenci kita sebab kita adalah muridNya.
Jadi, ketika kita merasa sedih dengan lingkungan yang secara eksplisit
cenderung menjahi kebenaran untuk takut akan Tuhan, hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan," terangnya.
Tindakan guru Hayden ini
diresponi dengan santai oleh ayahnya, namun John mendesak umat Kristen untuk mengambil pendekatan lain untuk memberitakan Injil.
"Sebagai orang Kristen, kita
harus berhati-hati untuk tidak menjelekkan atau marah terhadap mereka yang
tidak percaya, sebab kita dipanggil untuk menyebarkan Injil kepada mereka, dan mengharapkan pertobatan dari mereka," lanjutnya.
Ia bahkan menyebutkan Rasul
Paulus sebagai salah satu contoh atas sikapnya yang radikal dalam mengabarkan
Kabar Baik.
Ayah Hayden juga mengatakan kalau
tindakan diksriminatif bisa jadi merupakan dorongan bagi orang percaya untuk
berteriak soal Kabar Baik bagi orang
banyak.