Sebagai orang tua, kita memang memiliki banyak tanggung
jawab. Mulai dari menjaga dan mengarahkan anak, merawat pertumbuhan karakter
sang anak hingga menyekolahkan anak sampai pada pendidikan tertinggi.
Setelah menyelesaikan sekolah, sebagai orang tua kita
tentu sangat mengharapkan yang terbaik bagi anak kita. Ibarat guru yang
mengharapkan murid-muridnya pintar karena hasil ajarannya , demikian orang tua
mengharapkan anak-anak tetap bersikap baik dan pergi bekerja memikirkan masa
depan hingga kembali dengan kabar sukses. Supaya kerja keras kita berbuah hasil
dan kita bahagia .
Lalu bagaimana jika seorang anak melupakan kita setelah
kesuksesannya (durhaka)? Atau parahnya adalah bagaimana jika anak nggak kurun
bekerja malah bergantung kepada kita di usia dewasanya selama bertahun-tahun?
Apa responmu?
Baru-baru ini terdengar berita dari negara seberang
yaitu Malaysia tepatnya di kota Kinabalu. Seorang pemuda berusia 22
tahun memutuskan bunuh diri dengan memotong lidahnya dan lompat dari sebuah
gedung hanya karena nggak tahan dengan omelan orangtuanya.
Miris sekali bukan? Omelan yang menjadi sebuah kebiasaan
berakibat fatal. Hal ini perlu diperhatikan oleh para orangtua dirumah.
Keputusannya tersebut berawal ketika pemuda ini selalu
dimarahi oleh orangtuanya karena tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran.
Karena bosan mendengar omelan itu, dia pun memutuskan bunuh diri.
Nggak asing lagi bagi banyak orang tua bahwa “Mengomel”
merupakan cara favorite yang jitu untuk mengungkapkan kekesalan supaya orang
lain mengerti kondisi hati kita yang marah, sedih atau nggak suka terhadap
sesuatu (khususnya anak dan suami).
Tetapi cara ini cukup berbahaya dan bisa menjadi batu
sandungan jika di perhadapkan kepada seseorang yang belum dewasa dalam iman dan
karakter. Misalkan, suami yang jarang dirumah karena pusing dengan omelan istri
terhadap pembantu, murid yang jarang masuk karena stress dengan omelan
guru, bahkan anak kabur dari rumah hingga bunuh diri karena nggak tahan
dengan omelan orangtua.
Kemarahan nggak harus selalu diungkapkan dengan
omelan yang keseringan, karena sebagai pendengar hal ini cukup menganggu dan
membuat stress dan mengakibatkan hal-hal fatal diatas.
Sebagai orangtua, cobalah merenung lagi bahwa kita harus
mulai memahami bagaimana cara supaya anak mengerti isi hati kamu tanpa harus
mengomel atau marah-marah. Mungkin kamu bisa melakukan cara seperti:
1. Berkatalah
dengan lembut namun terarah kepada sang anak
2. Tegas
tetapi nggak menuntut berlebihan
3. Berikan
pandangan dan konsekuensi atas perilaku/keputusan yang anak sedang buat atau
hadapi
4. Jangan
terlalu memaksa dan beri kesempatan untuk anak berpikir dengan caranya
5. Dengarkan
dia, dan jangan melulu anak yang mendengarkan kamu
Mazmur 37: 8 berkata : “Berhentilah marah dan
tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada
kejahatan."
Jadi sangat jelas sekali bukan bahwa kemarahan
menimbulkan kejahatan. Tanpa kita sadari, saat kita mengomel, emosi marah dapat
dirasakan oleh orang lain (panas hati) yang membuatnya melakukan kejahatan dan
hal yang nggak masuk akal.
Namun Amsal 15:1
berkata bahwa: "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman,
tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah."
Sudah jelas bukan buat para orang tua atau bahkan siapa saja, berhentilah mengomel dan marah yang berlebihan karena hal itu nggak akan menyelesaikan permasalahan.
Yuk share ke teman-teman dan para orangtua lainnya,
supaya mereka mengetahui kabar ini.