Bersama mobil yang berlari di rimbunnya pohon, teriakan sahabat perempuannya, Jenny Curan terdengar kuat ke arah si cacat Forrest. “Run Forrest, Run..! (Lari Forest, Lari, red),” begitu teriak si kecil Jenny melihat Forest dikejar oleh sekelompok anak laki-laki yang berniat menjahati si bocah cacat itu.
Ajaibnya, kesembuhan Forrest justru bermula dari peristiwa mengerikan itu. Alat bantu yang terpasang di kakinya satu per satu terlepas ketika ia mencoba berlari, lari dan berlari sekuat tenaga. Entah keajaiban apa itu, namun yang pasti Forrest yang cacat tiba-tiba sembuh secara total. Dan teriakan penuh cemas dan cinta Jenny Curan lah yang telah menyembuhkannya.
Forrest banyak bicara tentang hidup kita. Penyakit fisik entah yang ringan ataupun yang parah, kegagalan dalam pekerjaan atau usaha, hasil yang tidak optimal dicapai, musibah dan bencana yang tak diinginkan, hingga kehilangan orang-orang yang kita cintai, membawa kita pada situasi batas, keadaan di mana kita merasa seperti orang yang paling bodoh dan tak ada artinya. Pergi mengungsi ke bar dan minum banyak obat penenang adalah jalan ‘mudah’ untuk menghapus batas-batas itu. Minder dan sejenisnya tak kurang juga adalah ungkapan ‘ketidaknyamanan’ berhadapan keterbatasan. Memang keterbatasan itu dalam kisah hidup kita, lebih banyak mengganggu.
Padahal di ujung keterbatasan itu, sebenarnya keajaiban tengah menunggu, seperti yang dialami Forrest. Tentu kalau keterbatasan itu dihidupi dan dihadapi dengan baik. Benarlah kata Forrest bahwa stupid is as stupid does. Dalam artian, orang yang dungu sebenarnya adalah orang yang melakukan kebodohan. Begitupun kalau keterbatasan disikapi dengan bodoh atau tak bijaksana.
“Lari Forrest, lari…!”. Teriakan ini seperti meringkas jalan hidup kita. Seperti guru SD yang bersusah payah mengajar muridnya membaca atau guru matematika yang membuat muridnya bisa berhitung. Atau seperti ibu yang pertama kali menuntun anaknya berjalan dan melepasnya berlari penuh cemas. Begitu banyak orang mengungkapkan cinta dan dukungan dengan cara mereka sendiri.
Keterbatasan berubah menjadi keajaiban berkat kehadiran orang-orang yang memiliki cinta mencinta dan mendorong kita untuk berlari dan mematahkan segala batas yang kita buat dalam hidup kita.
Rasul Paulus dengan pengalaman keterbatasannya sebagai seorang rasul, meyakinkan dirinya bahwa dalam kelemahanlah Tuhan justru bekerja dalam hidup. “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12: 10).
Keajaiban dalam keterbatasan itu bisa terjadi, kalau kita mengijinkan Tuhan dengan rendah hati menyelesaikan apa yang sungguh tidak bisa kita selesaikan, mempercayakan pada-Nya seluruh apa yang belum kita capai. Keterbatasan kita yang diterima dengan rendah hati, adalah ladang garapan baru bagi Tuhan untuk digarap dan menghasilkan buah. Begitu pun dalam pengalaman keberdosaan, Tuhan akan mengampuni kita ketika kita mau datang dan mempercayakan diri pada Tuhan yang mencintai tanpa batas itu.
Anda diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu dan ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak yang re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI SINI
Sumber : Renungan Inspirasi/jawaban.com/ls