Semenjak meninggalnya sang ayah, kondisi perekonomian keluarga Michael Sie hancur, tidak hanya itu, hidup Michael pun hancur. Teman-temannya meninggalkannya, ibunya terlibat hutang, dan ia merasa sangat minder. Akhirnya Michael mencoba mencari jalan keluar dengan menggunakan narkoba.
“Saya lari ke narkoba, saya terjerat lebih dalam lagi dan malah saya tidak bisa lari ke mana-mana,” demikian pengakuan Michael.
Hingga suatu saat mamanya bertanya, “Kamu mau gini-gini aja, hidup di Jakarta?”
“Ya ngga mi, tapi mau gimana lagi?”
Saat itulah terlontar sebuah penawaran menarik, “Mama mau kerja ke Amerika, kamu mau ikut ngga?”
”Saat itu saya cuma mikir, kalau saya cari uang saya bisa jadi kepala rumah tangga yang baik. Sebagai anak yang baik untuk orangtua saya, saya melihat ini suatu kehidupan yang baru. Saya bilang, “Mam, saya ikut.” Amerika man.. Amerika, kapan lagi..”
Di tahun 1998 itu, Michael mengambil kesempatan yang ditawarkan mamanya itu. Mereka berdua pergi ke negeri Paman Sam itu dengan banyak harapan. Michael menjejakkan kaki di Los Angeles, Amerika dan memulai kehidupan baru. Namun kenyataan yang dihadapinya tidak seindah harapannya.
“Akhirnya saya mulai kerja, cuci piring. Sambil nyuci piring, saya menangis. Tuhan, sesusah-susahnya saya di Jakarta, ngga pernah sampai di suruh nyuci piring 14 jam sampai tangan biru-biru semuanya.”
Merasa tidak mendapatkan apa yang diinginkannya di kota itu, Michael mencoba peruntungannya ke Florida. Disana ia kerja sebagai pelayan restoran, namun dengan penghasilan yang lebih baik dari sebelumnya. Kerja kerasnya membuahkan hasil, setelah tiga tahun bekerja di restoran itu, di tahun 2001 Michael dipercayakan untuk menjadi manajer.
“Saya dipromosikan menjadi manajer dan dipercayakan untuk mengkepalai waiter-waiter. Ada suatu kebanggaan dan diposisi manajer itu saya penghasilannya cukup baik. Saya sempat bilang sama mama saya, “Udah mam, lebih baik mami pulang. Mami sudah waktunya istirahat, nanti biar aku yang beresin soal rumah dan biaya hidup.”
Michael ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi kepala keluarga yang baik kepada mamanya dan juga adiknya, dan hal itu berhasil, mamanya percaya kepadanya dan kembali ke Indonesia. Tapi di tengah kejayaan, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Peristiwa penyerangan teroris 11 September 2001 ternyata berpengaruh kepada kondisi perekonomian saat itu, dan ia terpaksa harus berhenti bekerja dan kembali ke Los Angeles.
“Ternyata di hari pertama saya di Los Angeles saya langsung bertemu dengan saudara-saudara saya. Dia tanya, “Mike, mau putaw ngga?” Langsung deh nyobain, gimana sih rasanya putaw Amerika.”
Apa yang telah ia tinggalkan di Indonesia dulu, ternyata mengejarnya kembali. Iapun kembali terikat bahkan hingga kehilangan semua harta hasil kerja kerasnya.
“Pikiran saya cuma narkoba dan narkoba.. Saya ngga mikir lagi kalau saya punya orangtua, punya adik. Seperti dibutakan..”
Hingga akhirnya semua harta Michael ludes semua, namun kebutuhannya akan narkoba tidak bisa ia kendalikan lagi. Ia nekad tinggal di jalanan dan mulai menjadi calo penjual narkoba untuk mendapatkan penghasilan. Keberhasilannya mendapatkan banyak pembeli, membuat Michael di lirik oleh seorang bandar besar.
“Saya seperti dapat promosi, dulu cuma calo sekarang megang barang. Dijalanan saya seperti dapat respek dan diterima.”
Namun uang, penghormatan dan narkoba yang melimpah tidak bisa memuaskan Michael. “Saya teriak sama Tuhan, tapi saya ngga tahu Tuhan yang mana. Saya cuma bilang, “Tuhan saya cape, cape begini. Harus bangun pagi, makai. Siang makai. Tuhan tangkep aja deh, lebih baik saya dipenjara aja deh. Saya capai begini.””
Doa Michael itu dijawab dengan segera. Saat ia sedang memakai narkoba, seorang polisi datang dan menangkapnya. Dipenjara itu, untuk sementara ia bisa berhenti menggunakan narkoba. Namun dengan alasan hanya sebagai pemakai, ia hanya sebentar berada di penjara. Sekeluarnya dari penjara, Michael mengalami kebimbangan apakah ia harus kembali ke keluarganya atau pada si bandar narkoba. Namun karena takut ditolak oleh keluarganya, Michael memilih kembali ke bandar narkoba.
“Terakhir kondisinya sedang panas, banyak polisi segala macam. Saat itu tidak ada yang berani jualan, tapi saya tetap jualan. Duitnya saya ambil, kami jalan berlawanan arah.”
Namun saat Michael sedang menghitung uang yang di dapatnya, seorang polisi menangkapnya. Di tahun 2003 itu, Michael harus menjalani pengadilannya dan dijatuhi hukuman selama satu tahun delapan bulan dan harus di deportasi ke Indonesia.
“Tujuh tahun ke Amerika, pulang hanya bawa 120 US dolar. Saya cuma berharap orang sudah tidak kenal lagi sama saya. Saya pikir saya akan dihakimi, tapi adik saya cuma peluk saya dan terima saya apa adanya. Dia cuma bilang, “Koko.. I miss you..” Pada hal dia tahu saya mengecewakan. Saat itu saya sadar bahwa semua hal yang saya takuti tidak terjadi, ternyata keluarga saya tidak mengecewakan saya. Keluarga saya mengasihi saya, itu hal yang diluar dugaan saya.”
Namun saat Michael sedang menata kembali kehidupannya, tawaran narkoba kembali datang. Kebiasan buruk Michael akhirnya diketahui oleh sang adik yang kemudian meminta bantuan dari sebuah panti rehabilitasi. Namun Michael melakukan perlawanan dan tidak mau dibawa ke panti rehabilitasi, hingga akhirnya tindakan keras pun dilakukan.
Tindakan pemaksaan ke tempat rehabilitasi itu, membuat Michael merasa dikhianati oleh keluarganya. Amarahnya memuncak.
“Saya benci semua orang!” demikian ungkap Michael. Ia merasa di khianati dan di tolak oleh keluarganya. Namun ia tidak dapat berbuat banyak.
Hingga suatu saat seorang mentor dipanti rehap itu berkata, “Kunci satu-satunya kamu keluar dari tempat ini adalah kalau kamu menghafalkan firman Tuhan.”
“Dia kasih saya Hagai pasal 1 dan pasal 2. Saya mulai baca Hagai itu dan hafalin. Lama-lama keasikan. Saya merasa ada sesuatu yang masuk. Sesuatu kayak ketenangan. Saya mulai menyadari kalau yang salah itu bukan dari luar. Yang salah itu saya. Tuhan itu panjang sabar, saya sudah ditolong begitu banyak. Saya baru sadar kalau Tuhan itu selalu ada buat saya. Tuhan sendiri bicara, “Mike, mereka itu mengasihi kamu, makanya itu kamu disini. Mike, Aku ini mengasihi kamu, karena itu Aku mau kamu mengenal Aku.””
Kasih Tuhan yang Michael rasakan saat itu membuatnya menyadari tujuan hidupnya. Enam bulan di tempat rehabilitasi itu, mencelikkan mata hatinya akan semua kesalahannya di masa lalu. Kini ia telah bebas dari narkoba, bahkan memberikan hidupnya untuk melayani anak-anak muda yang mengalami masalah seperti dirinya.
Sumber Kesaksian:
Michael Shi
Sumber : V110506091953