Pria Sejati Melarikan Diri Dari Godaan

Marriage / 5 June 2012

Kalangan Sendiri

Pria Sejati Melarikan Diri Dari Godaan

Lestari99 Official Writer
14779

Maskulinitas pada dunia kita saat ini seringkali didefinisikan sebagai kekuatan yang kasar, kemerdekaan yang semena-mena, kekayaan materi, kekuasaan yang kejam, maupun pesona romantis. Namun Alkitab memiliki perspektif yang berbeda mengenai apa artinya menjadi pria sejati. Paulus memerintahkan kepada orang-orang Korintus untuk bersikap maskulinitas sejati, dengan mengatakan, “Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat!” (1 Korintus 16:13). Maskulinitas sejati tidak mengidolakan olahraga, uang, status atau kesenangan dari dunia ini. Nafsu kedagingan secara alami datang kepada orang yang berdosa, dan mereka akan mengikuti keinginannya untuk memuaskan diri mereka sendiri. Namun pria sejati melakukan apa yang sulit. Pria sejati adalah seorang pejuang, bukan dalam arti kekerasan. Melainkan ia berjuang untuk kemuliaan Juru Selamatnya, untuk pengudusan diri, dan untuk kebaikan spiritual orang di sekitarnya.

Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan lari dari cobaan. Ya, itu benar – pria sejati akan melarikan diri dari cobaan. Jika dosa adalah musuh besar bagi orang Kristen, maka seorang anak Tuhan harus menjadi prajurt terampil dalam mematikan dosa yang ada di dalam hidupnya. John Owen, seorang yang memegang teguh norma-norma agama, mengatakan bahwa itu adalah hal yang terbaik. “Jadilah pembunuh dosa atau dosa akan membunuh Anda”. Pria sejati tidak hanya lari dari dosa, tapi dari godaan dosa yang mendahuluinya. Untuk melihat teladan yang sangat baik dari prinsip ini, kita perlu sedikit mendalami halaman-halaman Perjanjian Baru.

Adalah seorang anak muda yang bernama Timotius. Timotius dibesarkan oleh seorang ibu yang takut akan Allah dan neneknya dengan setia mengajarkan Alkitab kepadanya. Kita pertama kali diperkenalkan kepada Timotius dalam kitab Kisah Para Rasul. Di sana dikatakan, “Paulus datang juga ke Derbe dan ke Listra. Di situ ada seorang murid bernama Timotius; ibunya adalah seorang Yahudi dan telah menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani. Timotius ini dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan di Ikonium.” (Kisah Para Rasul 16:1-2). Anak muda ini dengan cepat menjadi salah satu murid kesayangan Paulus dan sahabat yang paling dipercaya. Timotius memiliki reputasi yang baik di kampung halamannya, namun Tuhan punya rencana yang lebih besar bagi Timotius dan memanggilnya untuk menjadi salah satu pekerja utama dalam mewartakan pesan Injil ke seluruh dunia yang bukan Yahudi.

Namun kehidupan kekristenan tidaklah mudah untuk dijalani Timotius, bahkan setelah ia menjadi pendeta di Efesus. Sebagaimana kita pelajari dari surat-surat Paulus kepada Timotius, anak muda ini setiap hari terlibat dalam pertempuran rohani – berusaha keras untuk menggembalakan jiwanya sendiri dan jiwa-jiwa yang berada di bawah penggembalaannya. Rasul Paulus menasehati muridnya ini untuk menderita bagi Kristus, menjaga kebenaran, dan rajin merenungkan Kitab Suci. Sementara Timotius muda menjadi semakin dewasa melebihi umurnya, sebagai orang Kristen ia memahami apa artinya berada dalam peperangan yang terus-menerus terhadap dosa dan godaan.

Timotius adalah contoh dari mereka yang tahan terhadap godaan. Dengan menggunakan Timotius sebagai teladan, kita akan membahas elemen kunci untuk menolak godaan sebagai cara menghormati Tuhan.

Pernahkah Anda merasa bahwa pertempuran Anda melawan dosa tidaklah mungkin untuk dimenangkan? Mungkin Anda sudah berpikir bahwa Anda ingin melarikan diri dari godaan, namun saat itu sepertinya tidak bisa. Jika demikian, Anda tidak sendirian. Rasul Paulus mengatakan sesuatu yang sangat penting dalam Roma 7. Ia menulis, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (ayat 19). Bahkan Paulus memahami pertempuran setiap hari antara daging dan roh. Namun perkataan Paulus tidak berakhir dalam keputusasaan. Pada akhirnya ia memandang kepada Allah untuk meminta pertolongan dan kemenangan akhir. Dalam kemenangan, ia menyatakan, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa. Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukuman maut.” (Roma 7:24-8:2)

Para murid mengalami perjuangan yang serupa – pikiran mereka memberitahu untuk melakukan suatu hal namun daging mereka melakukan yang sebaliknya. Pada malam Yesus dikhianati, saat mereka berada di Taman Getsemani, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk berdoa bagi-Nya sebagaimana ia mempersiapakn diri-Nya untuk disalib. Para murid-Nya sangat mengasihi-Nya dan akan melakukan apapun untuk membela-Nya. Namun di momen itu, mereka bahkan tidak sanggup membuat mata mereka tetap terjaga agar waspada. Apa tanggapan Yesus? “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41). Karena Dia mengakui kelemahan dari kondisi manusia, Yesus memerintahkan para murid-Nya (dan secara luas kepada semua orang percaya) untuk berdoa sepenuhnya bergantung pada kekuatan Tuhan untuk menang atas godaan.

Dalam Ibrani 4, beberapa kata yang paling menggembirakan dalam seluruh Kitab Suci ditulis bagi mereka yang berjuang untuk lari dari godaan. Bicara tentang Kristus, penulis kitab Ibrani menjelaskan, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (ayat 15) Sungguh melegakan untuk mengetahui bahwa Kristus sendiri memahami bagaimana rasanya menanggung pencobaan dan memperoleh kemenangan atas hal itu! Menjadi Tuhan sepenuhnya, Dia tidak pernah bisa berbuat dosa. Namun menjadi manusia seutuhnya, Ia sepenuhnya merasakan beratnya cobaan yang menekan diri-Nya. Ketika iblis mencobai Yesus di padang gurun, Yesus telah berpuasa selama 40 hari. Yesus sangat lapar dan lemah secara fisik. Namun dalam kondisi seperti itu, Yesus menang mengatasi segala janji-janji palsu iblis. Kemenangan-Nya atas godaan akan terus dihadapi-Nya sampai ke kayu salib, dimana Ia akhirnya mengalahkan dosa sekali untuk selamanya.

Setelah menghadapi godaan paling berat yang dapat dibayangkan, Yesus sangat mengerti di saat kita lemah dan saat berada di tengah pencobaan. Respon yang tepat saat kita menghadapi godaan adalah berpaling kepada Tuhan untuk mencari pertolongan. Penulis Ibrani sangat menekankan hal ini, “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” (ayat 16) Jika kita ingin menemukan kemenangan atas godaan, kita harus bergantung pada kekuatan dan kasih karunia Tuhan.

Timotius memahami kebutuhan untuk meminta bantuan Tuhan dalam perang melawan godaan. Sebagai salah satu sahabat misionari Paulus, Timothy teah melihat bagaimana mentornya berkali-kali berlutut dalam doa. Pada satu kesempatan Paulus meminta dukungan doa dari orang-orang di Efesus, kalau-kalau ia tergoda untuk menjadi pengecut (Efesus 6:19-20). Timotius rentan terhadap dosa untuk menjadi takut (2 Timotius 1:7-8). Jadi Paulus memerintah dia untuk berdoa – terutama bagi mereka yang mungkin tergoda untuk takut, seperti takut terhadap pejabat pemerintah (1 Timotius 2:1-8). Sebagaimana penganiayaan terhadap gereja terjadi, Timotius pasti ingat kata-kata Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tetang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Setelah dengan baik diajarkan oleh mentornya, Timotius tahu bahwa satu-satunya cara yang tepat untuk menanggapi ketakutannya adalah dengan berdoa.

Bahkan di akhir hidup Paulus, ketika semua orang telah meninggalkan dirinya, Rasul Paulus terus mendorong Timotius dengan fakta bahwa Tuhan akan selalu mendampingi dan memberikan kekuatan (2 Timotius 4:17). Pesan untuk Timotius adalah jelas: Tidak peduli apapun kesulitan yang ia hadapi, ia bisa bergantung sepenuhnya kepada Kristus. Pelajaran itu terbukti sangat berharga bagi Timotius yang melayani Tuhan di usia muda. Ketika Timotius dikirim ke penjara, ia melawan ketakutannya dan tetap setia kepada Tuhan (Ibrani 13:23).

 

Baca Juga:

Sumber : Crosswalk
Halaman :
1

Ikuti Kami