Nyali besar yang dia miliki, merupakan teror bagi lawan-lawannya. Ambisinya untuk diakui, membuat Jakaria bertahan di dunia keras. “Waktu saya masih muda itu, saya ingin menunjukkan siapa diri saya agar orang-orang segan terhadap saya. Boleh dikatakan waktu itu saya cari nama. Misi saya adalah menjatuhkan orang-orang yang punya nama besar. Sampai dimana sih kekuatan dia? Dan kalau saya pribadi belum jajal itu orang, saya tidak percaya dengan kekuatannya.” Kata Jakaria mengisahkan masa lalunya.
Tekad itulah yang membuat Jakaria berani memimpin suatu geng untuk berperang dengan geng lain. Daerah tempat tinggal Jakaria merupakan daerah yang sering mengalami perang antar geng. Malam itu, ada suatu geng yang ingin menguasai geng Jakaria dan hal ini sudah diketahui oleh geng Jakaria dan malah sengaja menunggu geng lawan datang.
Akhirnya, setelah ditunggu sampai jam 1 pagi geng lawan tidak datang, geng Jakaria malah menuju ke tempat geng lawan bermarkas. Waktu itu, Jakaria sebagai pemimpin yang berada di depan berhadapan dengan pemimpin geng lawan.
Senjata Jakaria yang memang lebih panjang dari lawan diarahkan ke lawan setelah lawan menantang, “Siapa yang berani melawan gua?”
“Pokoknya waktu itu kayak film Mandarin. Semua senjata tajam kita gunakan dan perang itu memang muka ketemu muka.” Akibatnya, sebagian besar teman Jakaria mengalami luka parah dan bersimbah darah. Hal ini seperti mencoreng muka Jakaria. Keesokan harinya geng Jakaria sepakat untuk menyerang kembali. Kali ini, banyak anggota lawan yang kena bantai, banyak yang sekarat. Mereka merayakannya dengan minum-minum. Belum lama mereka berpesta pora merayakan kemenangan, tiba-tiba datanglah aparat keamanan.
“Siapa yang namanya Jakaria?” tanya aparat keamanan tersebut.
“Saya Pak” kata Jakaria waktu itu sambil mabuk-mabukan.
“Oh kamu ya, kamu yang tanggung jawab. Kamu harus ikut” kata aparat langsung menarik Jakaria. Namun, berkat bantuan orangtua temannya, Jakaria akhirnya dapat meloloskan diri dan menjadi buronan.
Walaupun menjadi buronan, Jakaria tidak takut keluar. Biasanya setelah berpesta pora, Jakaria dan teman-temannya mengadakan operasi “Jalan” yang berarti mencuri atau mengambil benda apapun.
Suatu hari, ketika Jakaria dan temannya sedang ‘jalan’, teman Jakaria kepergok. Temannya ini melarikan diri dan dikejar seorang warga. Jakaria yang menunggu di luar menghampirinya, sambil memegang golok waktu itu. Mereka menghampiri warga yang memergoki temannya tersebut.
Warga yang juga membawa golok sambil mengejar teman Jakaria berhadapan dengan Jakaria. Golok yang dibawa warga jatuh dan akhirnya dia melarikan diri masuk ke rumahnya. Jakaria mengejar dia dan saat dia terjatuh, Jakaria kemudian membacoknya membabi buta. Jakaria kemudian ditarik oleh temannya waktu itu, kalau tidak sang korban bisa meninggal. Namun, akibat perbuatan Jakaria, korbannya menjadi cacat seumur hidup. Jakaria pun harus mendekam di penjara.
Setelah selesai menjalani masa hukuman, Jakaria bukannya bertobat namun makin merajalela. Bagaikan menabur angin dan menuai badai, malapetaka menghampiri Jakaria. Pada waktu dia dan teman-temannya sedang duduk-duduk di warung, ada musuh yang datang. Jakaria yang tahu ada musuh, malah cuek saja. Sampai akhirnya, dia dibacok oleh si musuh tersebut. luka tusukan tidak membuatnya diam malah semakin memanas. Dia mengejar musuh tersebut.
Akhirnya, Jakaria kembali diciduk aparat karena ketahuan membawa senjata tajam. Di tangan aparat tersebut terdapat informasi mengenai berbagai macam tindakan kejahatan yang pernah dilakukan Jakaria.
Jakaria diminta untuk mengakui kejahatan yang dia lakukan, namun dia tetap bilang “Tidak” pada aparat tersebut. Muak dengan kebebalan Jakaria, pihak aparat pun terpaksa melakukan cara yang sadis. Mereka menyetrum Jakaria dengan menggunakan alat yang dipakai dari jaman Jepang dulu. Kali ini, ketika Jakaria masih menyangkal kejahatannya, dia disetrum.
Pada saat itu, saking sakitnya Jakaria sampai melompat dua meter dan berteriak-teriak. ”Tobaaaaaat, tolong Tuhan…ampunnnnn, tobat Tuhan.” Namun, semua itu hanyalah di bibir saja. Pertobatan yang dia ucapkan hanyalah kebohongan belaka. Setelah menjalani hukuman, lagi-lagi Jakaria ke kehidupan lamanya. Terus menerus, keinginan jahat itu ada dalam dirinya.
Bahkan, ketika dia sudah menikah, sang istri ikut menjadi ‘mangsa’ Jakaria. “Saya kalau jengkel sama istri, sudah sama kayak musuh saya. Saya aniaya dia kayak bukan orang saja. Sampai lebam, sampai hancur, sampai ga berbentuk gitu mukanya. Bukan 1x 2x kejadiannya.”
“Tiap dia mabuk pasti saya kena,” ungkap istri Jakaria, Niken. “Pokoknya kalau dia habis berantem di luar, saya pasti kena pukul juga.”
Kejadian yang paling tragis terjadi pada waktu menjelang tahun baru 2007. Waktu itu, Jakaria bersama geng mabuk-mabukan. Jakaria menari-nari dengan penyanyi, yang mengakibatkan istrinya ngedumel.
Hal ini membuat Jakaria emosi. Dia membawa istrinya pulang dan mulai melayangkan jurus-jurusnya kepada sang istri. “Saya ditendang, dipukul, ditampar sampai muka saya tidak berbentuk, kayak bukan orang lagi.”
Akhirnya Niken tidak kuat, dia ingin cerai. Keesokan harinya Jakaria malah bertanya kepada istrinya kenapa mukanya sampai begitu.
“Elu yang mukulin gua sampai begini, lu bilang ga tau apa-apa. Lu ceraiin gua aja daripada gua terus jadi tempat pukulan elu…Nyenengin belum, apa lu belum tapi lu udah mukulin gua.” Kisah Niken kemudian.
Kali ini, perkataan dari sang istri menyadarkannya. Dengan berbagai cara, dia memohon agar sang istri membatalkan niatnya. Sang istri menganggap Jakaria orang yang baik sebenarnya. Dia sering berdoa, “Tuhan, tolong minuman itu dihilangkan…saya tahu dia baik orangnya…dia ga jahat seperti itu.”
Bertahun-tahun dia menjadi preman, akhirnya kembali dia dipenjara. Jakaria mulai merasakan jenuh. Pada waktu dia di penjara, dia diproses Tuhan, dia diberi pengertian oleh Tuhan, “ ‘Coba lu liat, apa lu ga malu? Usia lu udah segini, apa ga malu dengan anak? Anak-anak lu nanti dikatain bapaknya narapidana. Lu sih sanggup, tapi gimana dengan anak istri lu? Lu jangan egois…’ Coba bayangkan, saya diberikan pengertian jangan egois…” cerita Jakaria kemudian.
Mulai dari situ, kata-kata itu menjadi perenungan yang dalam buat Jakaria. Jakaria mulai ada kerinduan untuk berubah. Dia mulai berpuasa, mulai membaca firman. Tuhan meminta dia untuk menelepon istrinya, dan memohon ampun.
“Waktu itu saya telepon. Ini supaya doa gua ga terhalang, coba dah lu ampuni gua dah…sampai dia nangis.” Melalui telepon tersebut suami istri ini menangis. Bahkan Jakaria berkata bahwa dia akan melayani Tuhan bila sudah keluar dari penjara.
Jakaria membuktikan perkataannya. Kepribadiannya yang kasar dan keji kini berubah menjadi penyabar. Sejak tahun 2007 sampai sekarang, Jakaria tidak pernah lagi memaki-maki ataupun memukul istrinya.
“Dulu bangganya saya kalau merampok berhasil, mencuri berhasil, menganiaya orang berhasil, maling berhasil. Tapi setelah Tuhan proses saya, apa yang dulu menjadi kebanggaan bagi saya, sekarang saya anggap sebagai suatu kebodohan. Tanpa Yesus saya bukan siapa-siapa.” cerita Jakaria mengakhiri kisahnya. (Kisah ini ditayangkan 28 April 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber Kesaksian:
Jakaria Ginting
Sumber : V100401153741