Sampai Maut Memisahkan

Marriage / 28 December 2009

Kalangan Sendiri

Sampai Maut Memisahkan

Fifi Official Writer
5960

Bagaikan tersambar petir di siang bolong ketika Anda mendengarkan vonis dokter bahwa suami atau isteri tercinta mengidap penyakit keras, seperti kanker, hepatitis C, atau bahkan tertular HIV. Pasangan Anda yang semula periang dan mudah diajak bicara, mendadak jadi perasa dan memilih menghindari pembicaraan, terutama saat mengarah kepada penyakitnya.

Laksana badai Tsunami datang menghempaskan bahtera rumah tangga. Janji nikah yang dulu terucap kini diuji. Semuanya bisa saja memicu perubahan yang tidak diinginkan bagi si penderita penyakit ataupun pasangannya. Lingkungan sekitar juga bisa terpengaruh. Karena si penderita mulai gampang marah, teman-teman yang semula mencoba bersikap baik, lama-kelamaan memilih menjaga jarak.

Bagian terburuk mulai menghadang, sang suami yang telah enggan membahas masalah penyakit tersebut. Belakangan malah meminta isteri tercinta meninggalkannya dengan alasan pernikahan mereka tak dapat diselamatkan lagi. Kenyataan memang sudah terbalik, sangat menyakitkan baginya memiliki orang-orang yang mencintainya sebab dia tahu umurnya sudah tidak lama lagi.

Bagaikan benang kusut memang. Menurut pendapat para konselor di Pelayanan doa dan konseling CBN (Cahaya Bagi Negeri) jika yang menderita penyakit berat adalah sang suami, inti permasalahannya adalah pria tersebut tengah cemas sekaligus kecewa dan marah menghadapi kematian dan tak bisa menerima kenyataan itu. Maka dia cenderung menimpakan kekesalan kepada orang-orang terdekatnya.

Sementara permintaan cerai adalah sebuah mekanisme pertahanan untuk menarik diri dari kenyataan hidup yang pahit. Tapi apakah yang sebenarnya terjadi? Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Benarkah dia benar-benar ingin bercerai? Apa tindakan yang harus sang isteri lakukan?

Sebagai istri, menurut pendapat para konselor ini, Anda tak dapat mengubah cara suami Anda berpikir mengenai kematian. Sebaliknya Anda harus 'memperbaiki' iman dan cara pandang Anda terhadap masalah inii. Hal itu akan membantu menguatkan suami. Jangan segan melakukan konseling untuk diri sendiri. Dukungan akan membantu Anda tak hanya memahami penderitaan yang dirasakan suami, namun dapat juga untuk menangani kemarahannya dan tak hanya menyalahkan diri sendiri.

Tetap bersikap positif dalam menghadapi kemarahan pasangan bisa menjadi dukungan baginya. Kenyataannya kehilangan Anda dan juga dunia, hanya akan membuat pasangan hilang kendali. Bilang padanya bahwa anda tahu betapa beratnya penyakit itu baginya makanya untuk itulah anda hadir di sisinya, mendampinginya pada saat-saat sulit.Tapi, berikan juga ruang baginya untuk menyendiri. Sebab, biasanya orang yang menghadapi kematian memilih menghindari kontak dengan orang lain. Biarkan pasangan merenungi, memahami bahwa Anda mencintainya.

Disamping itu semua ada bagian terpenting. Atas nama cinta yang pernah Anda ikrarkan di hadapan Tuhan dan jemaat sewaktu pemberkatan nikah, jangan pernah berhenti berharap mukjizat terjadi. Jangan pernah berhenti berharap kepada Tuhan. Mulailah dari diri sendiri untuk memumupuk iman percaya bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan dan segala sesuatu pasti akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga Anda di dalam Tuhan. Bimbinglah pasangan Anda untuk mengalami pengalaman pribadi dengan Tuhan. Sadarkanlah bahwa tidak satu helaipun rambut yang jatuh ke tanah, terjadi tanpa sepengetahuan Tuhan Allah pencipta langit bumi. Selama ada Iman sekecil apapun. Mukjizat pasti terjadi. Akan selalu ada harapan untuk sembuh.

Halaman :
1

Ikuti Kami